Selalu Enggak Puas, Sindrom Imposter Buat Orang Takut Kelihatan Gagal
Halodoc, Jakarta - Pernah merasa kamu sudah memiliki segalanya atau mencapai kesuksesan tapi masih saja merasa kurang atau gagal? Hati-hati, bisa jadi kamu mengalami sindrom imposter. Apa yang dimaksud dengan sindrom imposter? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya dan apa saja gejalanya?
Mengenal Sindrom Imposter
Sindrom imposter mengacu pada pola perilaku ketika seseorang meragukan prestasi yang dicapainya dan memiliki ketakutan berkepanjangan dan sering merasa dirinya melakukan kesalahan atau kecurangan. Nama ini dicetuskan pada tahun 1978 oleh Suzanne Imes dan Pauline Clance, ahli psikologi klinis dari Atlanta.
Pemberian nama ini bermula dari adanya bukti yang kuat tentang prestasi seseorang yang menunjukkan bahwa pengidap sindrom ini tetap merasa tidak pantas memiliki prestasi maupun kesuksesan yang telah dicapainya. Mereka selalu menganggap masih ada kegagalan atau kecurangan.
Baca juga: 5 Gangguan Kepribadian dengan Rasa Cemas Berlebihan
Pengidap selalu menyebut kesuksesan yang diperoleh sebagai keberuntungan belaka dan tidak pernah menerima pujian bahwa mereka memang lebih baik, lebih pandai, lebih cerdas, atau lebih kompeten dari orang lain. Sindrom imposter bisa terjadi pada pria maupun wanita dengan rasio yang sama, beberapa mengalami gejalanya di awal, sementara lainnya bertahan sepanjang hidup.
Setidaknya, ada 5 (lima) tipe dari sindrom imposter, yaitu:
-
Expert. Tipe ini tidak pernah merasa puas ketika menyelesaikan tugas maupun pekerjaan sampai merasa bahwa informasi yang didapatkan benar-benar maksimal tentang tugas yang dikerjakan. Biasanya, ini terjadi pada calon pencari kerja yang tidak melanjutkan lamarannya karena salah satu poin tidak dimilikinya.
-
Perfeksionis. Mereka yang berada pada tipe ini mengincar kesempurnaan dan tidak pernah puas pada pekerjaan mereka. Pengidap sindrom imposter tipe ini cenderung berfokus pada bidang yang mereka pikir mereka bisa lebih baik dari yang lain.
-
Natural Genius. Tipe ini mampu menguasai keterampilan baru dengan cepat dan mudah, dan sering merasa malu dan minder ketika mereka tidak bisa. Mereka yang termasuk dalam kategori ini gagal untuk mengenali bahwa hampir setiap orang perlu membangun keterampilan untuk bisa mencapai prestasi, dan tentu saja ini butuh waktu.
-
Soloist, tipe yang lebih suka bekerja sendiri dan cenderung percaya bahwa meminta bantuan menunjukkan bahwa mereka tidak mampu. Tipe ini cenderung menolak bantuan untuk membuktikan kemampuan mereka.
-
Superhero, tipe yang sering dikaitkan dengan penggila kerja. Namun, pada akhirnya hanya menimbulkan kelelahan yang memengaruhi kesehatan fisik dan mental, juga hubungan dengan orang lain.
Baca juga: Kenali Perbedaan Introvert dan Gangguan Antisosial
Apa Saja Gejalanya?
Keraguan yang muncul pada diri sebenarnya bisa membantu seseorang menentukan penilaian realistis atas pencapaian, kompetensi, dan kemampuan mereka. Jika keraguan ini terlalu tinggi, akan lebih sulit jadinya untuk mengembangkan kemampuan diri yang realistis. Hal ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan yang menjadi gejala awal dari sindrom imposter.
Seseorang dengan sindrom ini selalu khawatir bahwa harapan yang dibebankan tidak bisa dicapai, menghindari tanggung jawab berlebihan, menolak kompetensi diri sendiri, selalu takut gagal, selalu tidak puas dengan pencapaian kerja yang telah dilakukan, dan bekerja lebih keras daripada biasanya.
Faktanya, ada beberapa yang menjadi faktor risiko seseorang terserang sindrom ini, yaitu:
-
Adanya tantangan baru. Peluang kesuksesan baru ini, misalnya promosi memicu terjadinya sindrom imposter.
-
Memiliki keluarga yang berbakat. Ketika ada salah seorang anggota keluarga dianggap lebih luar biasa, muncul perasaan tidak mampu yang besar pada orang lain.
-
Disebut ‘si pintar’. Anak-anak yang diberikan pemahaman bahwa mereka lebih unggul dalam kecerdasan, penampilan, atau bakat dapat mengembangkan sindrom imposter ketika mereka harus berjuang keras untuk mencapai sesuatu.
Baca juga: 4 Gangguan Mental yang Rentan Dialami Mahasiswa
Sebagian besar orang mengalami sindrom imposter sampai pada batas tertentu. Pengidap sindrom ini bisa membicarakan ketakutan yang dialami pada orang terdekat, baik keluarga, pasangan, maupun sahabat.
Tidak ada salahnya pula selalu mencatat prestasi yang telah diukir atau melakukan perayaan kecil untuk penghargaan diri atas pencapaian ini untuk membantu menghargai diri sendiri dan menghilangkan semua pikiran negatif. Jika gejalanya menetap atau berdampak pada kesehatan mental dan kualitas hidup, tidak ada salahnya untuk meminta bantuan psikolog.
Kamu bisa langsung membuat janji dengan dokter di rumah sakit mana saja sesuai keinginan atau terdekat dengan tempat tinggal di sini. Penanganan yang tepat mengurangi tingginya dampak yang terjadi, sehingga pengobatan bisa lebih cepat dilakukan. Kamu juga bisa bertanya langsung pada dokter dengan cara download aplikasi Halodoc di ponselmu.
Berlangganan Artikel Halodoc
Topik Terkini
Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan