Seperti Tersenyum, Ini Bahaya Smiling Depression di Balik Sosok Joker

Ditinjau oleh  Redaksi Halodoc   09 April 2019
Seperti Tersenyum, Ini Bahaya Smiling Depression di Balik Sosok JokerSeperti Tersenyum, Ini Bahaya Smiling Depression di Balik Sosok Joker

Halodoc, Jakarta - Setelah Warner Bros Pictures merilis teaser film Joker yang direncanakan akan tayang di bioskop pada 4 Oktober 2019 mendatang, pembahasan mengenai sosok Joker yang diperankan oleh Joaquin Phoenix sebagai tokoh utama kian mencuat. Pasalnya, berbeda di film-film Batman sebelumnya, yang menggambarkan Joker sebagai sosok yang keji, di film ini akan diceritakan lebih dalam mengenai kelamnya kehidupan tokoh Arthur Fleck sebelum berubah menjadi seseorang yang jahat.

Arthur Fleck digambarkan sebagai stand up comedian yang gagal dan perlahan masuk ke dunia kejahatan di Gotham pada 1980-an. Dalam trailer filmnya, Fleck yang merawat ibunya yang sakit, mengatakan tujuan hidupnya adalah membawa tawa dan kebahagiaan. Namun, kegagalan dan pem-bully-an secara fisik membuatnya depresi dan perlahan berubah menjadi orang yang keji.

Satu hal yang khas, dan yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini, dari sosok Joker versi Joaquin Phoenix  adalah, ia selalu mengenakan topeng badut yang tersenyum dalam kesehariannya. Seolah memasang wajah bahagia, untuk menutupi depresi yang dialaminya. Dalam medis, hal ini disebut Smiling Depression.

Baca juga: Mendeteksi Depresi pada Anak

Apa Itu Smiling Depression?

Depresi biasanya dikaitkan dengan kesedihan, kelesuan, keputusasaan, bahkan membuat pengidapnya tidak memiliki tenaga untuk keluar dari kamar tidurnya. Smiling depression atau ‘depresi yang tersenyum’ adalah istilah untuk seseorang yang hidup dengan depresi dalam dirinya, sambil tampak sangat bahagia atau puas di luar.

Di balik topeng mereka yang tampak gembira dan bahagia, mereka memiliki perasaan putus asa, tidak berharga, dan tidak mampu melakukan apa-apa. Mereka berjuang dengan depresi dan kegelisahan dalam jangka waktu yang lama. Namun, di saat bersamaan rasa takut akan diskriminasi membuat pikiran mereka kabur, dan secara tak sadar berusaha untuk tampil bahagia di depan orang lain, seolah semuanya baik-baik saja.

Hingga saat ini, smiling depression memang belum digolongkan sebagai salah satu gangguan mental, tetapi kondisi ini dapat disebut sebagai gangguan depresi mayor dengan fitur atipikal. Bahayanya? Tentu ada, dan perlu diwaspadai. Sebagai salah satu sub dari depresi, orang dengan smiling depression juga mengalami gejala yang serupa dengan gejala depresi pada umumnya, yaitu:

  • Perubahan nafsu makan, berat badan, dan tidur.
  • Kelelahan atau lesu.
  • Perasaan putus asa, kurangnya harga diri, dan harga diri rendah.
  • Kehilangan minat atau kesenangan dalam melakukan hal-hal yang dulu dinikmati.

Baca juga: Awas, Depresi Ringan Juga Bisa Berakibat Fatal bagi Tubuh

Namun, meski mengalami gejala tersebut, pengidap smiling depression justru terlihat sangat normal jika di depan umum. Mereka bahkan cenderung aktif, ceria, optimis, dan memiliki kehidupan sosial sama seperti orang yang normal. Hal ini justru lebih berbahaya dibanding pengidap depresi biasa, yang umumnya lemah dan tidak memiliki energi untuk melakukan aktivitas.

Pengidap smiling depression yang memiliki cukup banyak energi untuk tetap aktif di luar justru memiliki risiko bunuh diri yang lebih tinggi. Ya, orang dengan depresi berat kadang merasa ingin bunuh diri, tetapi banyak yang tidak punya energi untuk bertindak berdasarkan pemikiran ini. Namun, seseorang dengan smiling depression mungkin memiliki energi dan motivasi untuk menindaklanjutinya.

Hal-Hal yang Memicu Smiling Depression

Ada beberapa hal yang dapat memicu seseorang mengidap smiling depression, yaitu:

1. Perubahan Besar dalam Hidup

Seperti halnya jenis depresi lain, depresi tersenyum dapat dipicu oleh suatu situasi, seperti hubungan yang gagal atau kehilangan pekerjaan. Itu juga bisa dialami sebagai keadaan konstan.

2. Pergolakan Batin

Secara budaya, orang mungkin menghadapi dan mengalami depresi secara berbeda, termasuk merasakan lebih banyak gejala somatik (fisik) daripada yang emosional. Dalam beberapa budaya atau keluarga, tingkat stigma yang lebih tinggi juga dapat berdampak. Misalnya, mengekspresikan emosi dapat dilihat sebagai "meminta perhatian" atau menunjukkan kelemahan atau kemalasan.

Seseorang yang merasa mereka akan diadili karena gejala depresi mereka akan lebih mungkin untuk mengenakan topeng, dan menyimpan kesedihannya untuk diri mereka sendiri. Kondisi ini juga dapat lebih rentan terjadi pada pria yang terkungkung pada prinsip maskulinitas, bahwa pria selayaknya harus kuat, bahkan tidak boleh menangis.

Baca juga: 4 Alasan Utama Kenapa Generasi Milenial Lebih Gampang Depresi

3. Media Sosial

Di era digital, penggunaan media sosial menjadi hal yang umum. Alih-alih hanya sebagai sarana komunikasi, banyak orang yang menggunakannya untuk memamerkan kehidupan mereka yang baik-baik saja. Sementara hal buruk, disimpan sendiri dan tidak ditunjukkan di media sosial. Secara perlahan, hal ini dapat membuka ruang yang luas untuk tumbuh suburnya smiling depression, dalam diri seseorang.

Itulah sedikit penjelasan tentang smiling depression, bahaya, dan penyebabnya. Jika kamu membutuhkan informasi lebih lanjut soal hal ini atau gangguan kesehatan lainnya, jangan ragu untuk mendiskusikannya dengan dokter di aplikasi Halodoc, lewat fitur Talk to a Doctor, ya. Mudah kok, diskusi dengan dokter spesialis yang kamu inginkan pun dapat dilakukan melalui Chat atau Voice/Video Call. Dapatkan juga kemudahan membeli obat menggunakan aplikasi Halodoc, kapan dan di mana saja, obatmu akan langsung diantar ke rumah dalam waktu satu jam. Yuk, download sekarang di Apps Store atau Google Play Store!