Stockholm Syndrome
DAFTAR ISI:
- Apa Itu Stockholm Syndrome?
- Penyebab Stockholm Syndrome
- Faktor Risiko Stockholm Syndrome
- Gejala Stockholm Syndrome
- Hubungi Psikiater Ini Jika Mengidap Stockholm Syndrome
- Diagnosis Stockholm Syndrome
- Komplikasi Stockholm Syndrome
- Pengobatan Stockholm Syndrome
- Pencegahan Stockholm Syndrome
- Kapan Harus ke Dokter?
Apa Itu Stockholm Syndrome?
Sindrom stockholm adalah mekanisme koping (coping mechanism) yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami penculikan.
Korban akan mengembangkan perasaan positif terhadap penculik atau pelaku dari waktu ke waktu.
Kondisi ini juga berlaku untuk beberapa situasi lain termasuk pelecehan anak, pelecehan pelatih-atlet, pelecehan hubungan dan perdagangan seks.
Penyebab Stockholm Syndrome
Sejauh ini para peneliti tidak tahu pasti penyebab mengapa beberapa tawanan mengembangkan sindrom ini sedangkan yang lain tidak.
Bisa jadi keberadaan sindrom ini sebagai teknik coping nenek moyang peradaban masa lalu.
Di mana pada situasi tertentu, tawanan membangun ikatan emosional dengan penculiknya untuk meningkatkan peluang bertahan hidup.
Teori lain menyebutkan bahwa situasi tawanan atau pelecehan sangat emosional. Korban bisa “terpaksa” menyesuaikan perasaan dengan pelaku untuk mengamankan keselamatannya.
Ketika tidak disakiti oleh pelakunya, korban mungkin merasa bersyukur dan bahkan memandang pelakunya sebagai orang yang penuh belas kasihan.
Faktor Risiko Stockholm Syndrome
Beberapa faktor yang dapat menempatkan kondisi seseorang mengalami Stockholm Syndrome adalah:
1. Toxic Relationship
Orang yang mengalami hubungan toksik dapat mengembangkan keterikatan emosional dengan pelakunya.
Pelecehan seksual, fisik, dan emosional, serta inses, dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
Selama waktu ini, seseorang dapat mengembangkan perasaan positif atau simpati untuk orang yang menyalahgunakannya.
2. Pelecehan Anak
Pelaku sering mengancam korbannya dengan menyakiti, bahkan akan menghabisi nyawanya. Korban mungkin mencoba untuk tidak membuat marah pelaku dengan menjadi patuh.
Pelaku juga dapat menunjukkan kebaikan yang dapat dianggap sebagai perasaan yang tulus.
Hal ini selanjutnya dapat membingungkan anak (korban) dan menyebabkan mereka tidak memahami sifat negatif positif dari hubungan tersebut.
3. Perdagangan Seks
Orang-orang yang diperdagangkan seringkali bergantung pada pelakunya untuk kebutuhan, seperti makanan dan air. Ketika pelaku memberikan itu, korban mungkin mulai mengembangkan perasaan positif terhadap pelakunya.
Mereka mungkin juga menolak bekerja sama dengan polisi karena takut akan pembalasan atau berpikir bahwa mereka harus melindungi pelaku kekerasan untuk melindungi diri mereka sendiri.
4. Pembinaan Olahraga
Terlibat dalam olahraga adalah salah satu cara untuk membangun keterampilan dalam berelasi. Sayangnya, beberapa dari hubungan yang terbangun lewat pembinaan olahraga pada akhirnya berakhir negatif.
Teknik pelatihan yang keras bisa menjadi kasar. Atlet mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa perilaku pelatih mereka adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Ini pada akhirnya dapat menjadi bentuk sindrom Stockholm.
Gejala Stockholm Syndrome
Orang yang mengalami stockholm syndrome sering menunjukkan beberapa gejala khas yang mengarah pada hubungan emosional.
Nah, hubungan ini cenderung tidak biasa dengan pelaku kekerasan atau penculik mereka. Gejala utamanya meliputi:
1. Perasaan positif terhadap pelaku
Meskipun korban mungkin mengalami penderitaan atau kekerasan, mereka juga merasakan simpati, rasa hormat, atau bahkan afeksi terhadap pelaku.
Hal ini sering terlihat dalam situasi di mana korban merasa pelaku memberikan perlindungan atau perawatan dalam situasi yang berbahaya.
2. Simpati terhadap pandangan pelaku
Korban bisa mulai membenarkan perilaku atau keyakinan pelaku, bahkan yang melibatkan kekerasan atau perilaku merugikan.
Mereka mungkin berpikir bahwa pelaku memiliki alasan yang sah untuk bertindak seperti itu, atau merasa bahwa pelaku sebenarnya adalah “korban” dari situasi yang lebih besar.
3. Perasaan negatif terhadap figur otoritas
Korban sering mengembangkan ketidakpercayaan atau perasaan negatif terhadap pihak otoritas, seperti polisi atau pihak penegak hukum lainnya.
Hal ini terjadi karena korban melihat pihak otoritas sebagai ancaman bagi hubungannya dengan pelaku.
4. Gejala mirip PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)
Korban juga sering mengalami gejala yang serupa dengan PTSD, seperti kilas balik peristiwa traumatis, rasa tidak percaya terhadap orang lain dan perasaan tertekan.
Korban juga menjadi mudah tersinggung, kecemasan berlebihan, kesulitan menikmati aktivitas yang dulu disukai, serta kesulitan berkonsentrasi.
Gejala-gejala ini sering kali berlangsung lama bahkan setelah situasi traumatis berakhir.
Hubungi Psikiater Ini Jika Mengidap Stockholm Syndrome
Apabila kamu atau orang terdekat mengalami gejala Stockholm Syndrome, segera hubungi psikiater di Halodoc untuk mendapat saran perawatan.
Psikiater di Halodoc telah berpengalaman serta mendapatkan penilaian baik dari pasien yang sebelumnya mereka tangani.
Berikut psikiater di Halodoc yang bisa kamu hubungi:
- dr. Mariati Sp.KJ
- dr. Sarah Endang S. Siahaan Sp.KJ
- dr. Anastasia Kharisma Sp.KJ
- dr. Debrayat Osiana Sp.KJ
- dr. Hanny Soraya M.Ked, Sp.KJ
Itulah beberapa psikiater yang bisa kamu hubungi untuk bantu perawatan terkait Stockholm Syndrome. Jangan ragu untuk segera menghubungi dokter agar dapat segera ditangani.
Dokter tersebut tersedia selama 24 jam di Halodoc sehingga kamu bisa lakukan konsultasi dari mana saja dan kapan saja.
Namun, jika dokter sedang tidak tersedia atau offline, kamu tetap bisa membuat janji konsultasi melalui aplikasi Halodoc.
Tunggu apalagi? Ayo, pakai Halodoc sekarang juga!
Diagnosis Stockholm Syndrome
Meskipun American Psychiatric Association (APA) tidak secara resmi mengakui stockholm syndrome sebagai gangguan mental yang spesifik, perilaku dan respons sindrom ini mirip sekali dengan trauma psikologis yang ekstrem.
Tidak ada kriteria diagnostik khusus untuk kondisi ini. Sebab, penelitian tentang stockholm syndrome masih terbatas.
Namun, para profesional kesehatan mental mengenali bahwa perilaku yang muncul dalam situasi traumatis, seperti yang ada dalam stockholm syndrome, mirip dengan gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD) atau gangguan stres akut.
Oleh karena itu, diagnosis untuk stockholm syndrome sering mengacu pada evaluasi gejala PTSD dan reaksi trauma lainnya.
Komplikasi Stockholm Syndrome
Jika tidak segera diatasi, korban sindrom ini berpotensi mengalami komplikasi emosional dan psikologis yang serius. Salah satu komplikasi utamanya adalah post-traumatic stress disorder (PTSD).
Nah, PTSD membuat korbannya mengalami kilas balik, mimpi buruk, dan kecemasan berlebih yang berkepanjangan. Selain itu, pengidap sindrom mungkin juga mengalami penurunan harga diri.
Rasa percaya diri mereka sering terkikis oleh trauma yang mereka alami, ditambah dengan kebingungan emosional terkait perasaan positif mereka terhadap pelaku.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan masalah trust issue (kesulitan untuk mempercayai orang lain), di mana korban menjadi sangat skeptis atau waspada terhadap orang-orang di sekitar mereka.
Hal ini bisa menghambat kemampuan korban untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Trauma yang tidak diobati juga dapat memengaruhi kesehatan mental korban dalam jangka panjang.
Akibatnya, korban berisiko mengalami depresi, kecemasan, dan isolasi sosial.
Pengobatan Stockholm Syndrome
Karena stockholm syndrome belum diakui secara resmi sebagai gangguan psikologis, belum ada standar pengobatan yang spesifik untuk kondisi ini.
Namun, pengobatannya mirip sekali dengan mengatasi PTSD, seperti berikut:
1. Konseling dan terapi
Pendekatan utama dalam mengobati stockholm syndrome adalah melalui konseling psikologis dengan psikiater atau psikolog.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga dilakukan untuk membantu korban memahami dan mengatasi perasaannya terhadap pelaku. Terapi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang berkembang selama situasi traumatis.
2. Obat-obatan
Dalam beberapa kasus, korban mungkin juga diberikan obat-obatan tertentu untuk mengatasi gejala kecemasan, depresi, atau stres pasca-trauma.
Obat antidepresan dan obat anti-kecemasan dapat digunakan untuk membantu korban mengelola efek psikologis dari trauma.
3. Terapi dukungan
Selain terapi formal, korban mungkin memerlukan dukungan dari kelompok sebaya atau keluarga. Dukungan sosial sangat penting untuk membantu korban memulihkan diri dari trauma dan kembali menjalani kehidupan yang normal.
Pencegahan Stockholm Syndrome
Sayangnya, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah sindrom stockholm, mengingat kondisi ini berkembang sebagai respons terhadap trauma ekstrem, seperti penculikan atau kekerasan fisik dan mental.
Karena sindrom ini merupakan respons psikologis yang tidak dapat diprediksi, tindakan pencegahan cenderung sulit dilakukan.
Stockholm syndrome juga tidak terbatas hanya pada korban penculikan. Orang yang mengalami pelecehan fisik atau emosional dalam hubungan pribadi atau lingkungan kerja juga dapat mengembangkan perasaan serupa terhadap pelaku.
Menyadari atau memahami tanda-tanda awal dan mencari respon yang cepat terhadap trauma bisa membantu mengurangi risiko berkembangnya sindrom ini. Meski begitu, hal ini tidak sepenuhnya dapat dicegah.
Kapan Harus ke Dokter?
Jika kamu atau orang terdekat mengalami situasi traumatis yang melibatkan kekerasan, penganiayaan, baik secara fisik maupun mental, kamu perlu segera melakukan pemeriksaan kesehatan ke profesional medis.
Informasi selengkapnya mengenai Sindrom Stockholm bisa kamu dapatkan dengan cara download aplikasi Halodoc melalui App Store atau Google Play.