Skizofrenia

DAFTAR ISI
- Apa Itu Skizofrenia?
- Penyebab Skizofrenia
- Jenis-Jenis Schizophrenia
- Faktor Risiko Skizofrenia
- Gejala Skizofrenia
- Hubungi Psikiater Jika Orang Terdekat Mengalami Gejala Skizofrenia
- Studi Tentang Skizofrenia
- Mekanisme Skizofrenia
- Diagnosis Skizofrenia
- Cek Kondisi Kesehatan Mental dengan Fitur Ini
- Pengobatan Skizofrenia
- Rekomendasi Obat Skizofrenia
- Komplikasi Skizofrenia
- Pencegahan Skizofrenia
Apa Itu Skizofrenia?
Skizofrenia adalah penyakit gangguan kejiwaan kronis yang terjadi ketika pengidapnya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap.
Umumnya, pengidap gangguan kesehatan mental ini menunjukkan gejala psikosis, yaitu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran pada diri sendiri.
Inilah yang membuat banyak orang beranggapan bahwa, penyakit skizofrenia mirip dengan psikosis, padahal keduanya berbeda. Mudahnya, psikosis hanya salah satu gejala dari beberapa jenis gangguan mental, termasuk skizofrenia.
Penyebab Skizofrenia
Hingga saat ini, ahli belum dapat memastikan apa yang menjadi penyebab pasti dari schizophrenia.
Meski begitu, ada beberapa kondisi yang memiliki kaitan dengan masalah kesehatan mental ini, yaitu:
1. Genetik
Keturunan dari seseorang dengan kondisi skizofrenia memiliki risiko 10 persen lebih tinggi untuk mengalami kondisi serupa.
Risiko tersebut meningkat hingga 40 persen ketika kedua orang tua sama-sama mengalami kelainan mental ini.
Sementara itu, anak kembar yang salah satunya mengidap skizofrenia akan memiliki risiko hingga 50 persen lebih besar.
2. Komplikasi kehamilan dan persalinan
Skizofrenia dapat muncul karena beberapa kondisi yang mungkin terjadi ketika hamil dan dampaknya akan terlihat saat anak lahir.
Misalnya, paparan racun dan virus selama kehamilan, ibu yang mengidap penyakit diabetes gestasional, perdarahan dalam masa kehamilan, dan kekurangan nutrisi.
Selain kehamilan, komplikasi yang terjadi ketika persalinan juga dapat menyebabkan seorang anak mengidap kelainan mental ini.
Contohnya, berat badan rendah saat lahir, kelahiran prematur, dan asfiksia atau kekurangan oksigen saat lahir.
3. Faktor kimia pada otak
Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamin pada otak dapat menjadi salah satu kondisi yang menyebabkan sekaligus meningkatkan risiko schizophrenia.
Keduanya adalah zat kimia yang berfungsi untuk mengirimkan sinyal antara sel otak sebagai bagian dari neurotransmitter.
Selain itu, pengidap kelainan mental ini juga memiliki perbedaan pada struktur dan fungsi otak ketimbang seseorang yang tidak memiliki masalah kejiwaan.
Perbedaan ini termasuk:
- Ventrikel otak memiliki ukuran yang lebih besar. Ventrikel adalah bagian dalam otak yang berisi cairan.
- Lobus temporalis memiliki ukuran yang lebih kecil. Ingatan dalam otak manusia berkaitan dengan lobus temporalis.
- Sel-sel pada otak memiliki koneksi yang lebih sedikit.
4. Penyalahgunaan obat-obatan
Penyalahgunaan obat-obatan tertentu, terutama yang bersifat psikoaktif, dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami skizofrenia. Terutama jika individu tersebut sudah memiliki kerentanan genetik atau faktor risiko lainnya.
Misalnya, penggunaan jangka panjang dan intensif dari obat-obatan seperti kanabis, amfetamin, atau LSD telah dikaitkan dengan peningkatan risiko timbulnya gejala psikotik.
Kanabis, khususnya, dapat memperburuk atau memicu episode skizofrenia pada individu yang rentan, terutama jika digunakan pada usia remaja ketika otak masih dalam tahap perkembangan.
Mekanisme yang mendasari hubungan ini masih dipelajari. Tetapi diduga bahwa, zat-zat tersebut dapat mengganggu keseimbangan kimia di otak, memperburuk disfungsi neurotransmiter, dan pada akhirnya memicu atau mempercepat munculnya skizofrenia.
Fakta tentang Skizofrenia
1. Skizofrenia pertama kali ditemukan oleh psikiater asal Swiss bernama Eugen Bleuler di tahun 1911.
2. Istilah “skizofrenia” yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “pemisahan pikiran,” untuk menggambarkan gangguan yang melibatkan disintegrasi fungsi mental.
3. Sebelum disebut skizofrenia, penyakit mental ini dikenal sebagai penyakit demensia sebelum lanjut usia.
4. Negara dengan prevalensi tinggi skizofrenia antara lain India, Swedia, dan Finlandia.
Jenis-Jenis Skizofrenia
Ada beberapa jenis skizofrenia, yang masing-masing memiliki karakteristik dan gejala yang berbeda. Berikut adalah jenis-jenis skizofrenia:
- Skizofrenia Paranoid. Kondisi ini didominasi gejala delusi dan halusinasi. Perilakunya sering tampak waspada, curiga, dan mungkin bersikap defensif atau agresif.
- Skizofrenia Disorganisasi. Gejalanya berupa perilaku dan pembicaraan yang sangat tidak terorganisir dan tidak masuk akal. Ciri-cirinya sering kali tidak mampu merawat diri sendiri dengan baik dan menunjukkan emosi yang tidak pantas atau datar.
- Skizofrenia Katatonik. Ciri-ciri schizophrenia ini berupa angguan motorik yang menonjol, termasuk immobilitas (tidak bergerak), aktivitas motorik yang berlebihan, atau perilaku yang aneh. Perilakunya sering berpostur kaku untuk waktu yang lama, atau menunjukkan gerakan motorik yang cepat dan tanpa tujuan.
- Skizofrenia Residual. Gejalanya berupa penarikan sosial, kurangnya inisiatif, emosi datar atau tumpul, dan kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas.
- Skizofrenia Undifferentiated. Gejala berupa kombinasi antara delusi, halusinasi, disorganisasi pikiran, dan gangguan perilaku.
- Skizofrenia Simpleks. Kondisi ini menyebabkan penurunan fungsi sosial dan okupasional, emosi datar, dan kurangnya motivasi.
Faktor Risiko Skizofrenia
Siapa saja bisa mengalami skizofrenia, tetapi kelainan ini lebih rentan terjadi pada usia remaja dan dewasa muda.
Selain itu, ada pula beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko masalah kesehatan mental ini, yaitu:
- Bentuk struktur otak dan sistem saraf pusat yang tidak normal.
- Beberapa komplikasi kehamilan dan kelahiran, seperti malnutrisi, kekurangan oksigen atau paparan racun atau virus yang dapat memengaruhi perkembangan otak.
- Memiliki riwayat keluarga dengan skizofrenia.
- Kelahiran prematur.
- Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh.
- Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamin.
- Mengonsumsi obat yang dapat mengubah pikiran (psikoaktif atau psikotropika) selama masa remaja dan dewasa muda.
Gejala Skizofrenia
Gejala skizofrenia terbagi menjadi dua kategori, yaitu positif dan negatif. Berikut penjelasan untuk setiap kategorinya:
1. Gejala negatif
Gejala negatif muncul ketika sifat dan kemampuan yang ada pada orang normal, seperti konsentrasi, pola tidur normal, dan motivasi hidup menghilang.
Selain itu, gejala schizophrenia negatif juga termasuk ketidakmauan seseorang bersosialisasi dan merasa tidak nyaman saat bersama orang lain.
Ciri khas orang yang mengidap gejala skizofrenia negatif yaitu terlihat apatis dan buruk secara emosi, tidak peduli terhadap penampilan diri sendiri, dan menarik diri dari pergaulan.
Gejala negatif sendiri bisa berlangsung selama beberapa tahun sebelum muncul gejala awal dan cenderung memburuk seiring waktu.
2. Gejala positif
Kemudian, ada juga gejala positif yang termasuk perubahan pada perilaku dan pola pikir pengidapnya, seperti:
- Halusinasi, kondisi ketika pengidap mengalami sesuatu yang sebenarnya tidak nyata. Halusinasi pendengaran adalah jenis yang paling sering terjadi pada pengidap skizofrenia. Misalnya mendengar bisikan tertentu.
- Delusi atau waham, kondisi ketika pengidap sangat yakin pada suatu hal yang berkebalikan dengan realita. Misalnya, perasaan seperti diawasi atau disakiti.
- Kekacauan pola pikir, termasuk sulit berkonsentrasi yang membuat pengidap kesulitan berkomunikasi dan mengingat.
- Kekacauan perilaku yang muncul dengan gejala khas berupa gerak tubuh atau kondisi motorik abnormal.
Sementara itu, gejala awal dari skizofrenia yang bisa kamu perhatikan, antara lain:
- Perasaan yang mudah tersinggung atau tegang.
- Kesulitan berkonsentrasi.
- Kesulitan tidur.
Ketika penyakit berlanjut, pengidap mungkin memiliki masalah dengan pemikiran, emosi, dan perilaku, termasuk:
- Mendengar atau melihat hal-hal yang tidak ada (halusinasi).
- Isolasi diri.
- Mengurangi emosi dalam nada suara atau ekspresi wajah.
- Masalah dengan pemahaman dan pengambilan keputusan.
- Masalah memperhatikan dan menindaklanjuti aktivitas.
- Keyakinan yang dipegang kuat pada sesuatu hal yang tidak nyata (delusi).
- Berbicara dengan cara yang tidak masuk akal.
3. Gejala kognitif dan sosial
Skizofrenia tidak hanya menyebabkan gangguan persepsi dan pemikiran, tetapi juga berdampak pada fungsi kognitif dan keterampilan sosial.
Individu dengan skizofrenia sering mengalami kesulitan dalam mengingat informasi, memproses pemikiran dengan jelas, serta mengalami gangguan perhatian dan pemecahan masalah.
Gejala sosial yang sering muncul meliputi isolasi diri, kurangnya ekspresi emosional, dan ketidakmampuan untuk mempertahankan hubungan interpersonal.
4. Gejala prodromal dan first-rank symptoms
Gejala awal skizofrenia, atau gejala prodromal, dapat muncul sebelum gangguan berkembang secara penuh.
Ini mencakup perubahan perilaku yang tidak biasa, menarik diri dari lingkungan sosial, gangguan tidur, serta meningkatnya kecurigaan atau kepekaan terhadap lingkungan.
Sementara itu, first-rank symptoms (FRS) adalah gejala khas skizofrenia yang sering dijadikan indikator utama dalam diagnosis, seperti halusinasi suara yang memberi perintah, perasaan bahwa pikiran dikendalikan oleh pihak luar, serta waham bahwa seseorang sedang diawasi atau dikejar.
Hubungan antara Gejala Skizofrenia dan Penyalahgunaan Zat
Banyak pengidap skizofrenia yang berisiko lebih tinggi untuk mengalami penyalahgunaan zat, seperti alkohol atau narkotika.
Beberapa individu menggunakan zat psikoaktif untuk mengurangi gejala halusinasi atau mengatasi kecemasan sosial, tetapi pada akhirnya, ini justru memperburuk kondisi mereka.
Penggunaan zat juga dapat mempercepat episode psikotik, memperparah gejala, serta mengganggu efektivitas pengobatan
Lantas, kapan ciri-ciri skizofrenia mulai muncul pada seseorang?
Ciri-ciri skizofrenia umumnya mulai muncul pada akhir masa remaja hingga awal dewasa, biasanya antara usia 16 hingga 30 tahun.
Namun, gejala dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya.
Baca lebih lanjut tentang Kapan Ciri-Ciri Skizofrenia Mulai Muncul pada Seseorang? sehingga dapat segera melakukan tindakan antisipasi.
Hubungi Psikiater Jika Orang Terdekat Mengalami Gejala Skizofrenia
Segeralah temui dokter, psikiatri, atau psikolog apabila orang terdekat mengalami gejala-gejala tadi atau tanda lainnya, seperti:
- Mendengarkan suara yang menyuruh menyakiti diri sendiri atau orang lain.
- Memiliki dorongan untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain.
- Merasa takut atau kewalahan.
- Melihat hal-hal yang tidak nyata.
- Merasa bahwa tidak dapat menjaga diri sendiri.
Nah, berikut ini terdapat beberapa rekomendasi psikiater di Halodoc yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun.
Mereka juga memiliki penilaian yang baik dari pasien-pasien yang pernah mereka tangani sebelumnya:
- Dr. Hanny Soraya M.Ked, Sp.KJ
- dr. Mariati Sp.KJ
- dr. Sarah Endang S. Siahaan Sp.KJ
- dr. Anastasia Kharisma Sp.KJ
- dr. Debrayat Osiana Sp.KJ
Jika dokter sedang tidak tersedia atau offline, kamu tak perlu khawatir.
Sebab kamu tetap bisa membuat janji konsultasi di lain waktu melalui aplikasi Halodoc atau berkonsultasi dengan psikiater lainnya. janji konsultasi di lain waktu melalui aplikasi Halodoc atau berkonsultasi dengan psikiater lainnya.
Studi Tentang Skizofrenia
Penelitian berjudul Self-Efficacy dan Peran Keluarga Berhubungan dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia yang dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa (2021), berusaha memaparkan dampak kemampuan diri (self-efficacy) keluarga dan peran yang mereka lakukan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami skizofrenia, terhadap intensitas kekambuhan penyakit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sebagian besar keluarga memiliki tingkat self-efficacy yang rendah dan kurang aktif dalam memberikan perawatan.
Ini artinya, banyak keluarga yang merasa tidak yakin dengan kemampuan mereka dalam merawat anggota keluarga yang sakit dan tidak terlalu aktif dalam memberikan dukungan.
Ada hubungan yang kuat antara self-efficacy keluarga, peran keluarga, dan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia.
Artinya, semakin tinggi self-efficacy dan semakin aktif peran keluarga dalam merawat pasien, semakin jarang pasien mengalami kekambuhan.
Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy dan semakin pasif peran keluarga, semakin sering pasien mengalami kekambuhan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa, kemampuan diri keluarga dan peran aktif mereka dalam merawat pasien skizofrenia sangat penting untuk mencegah terjadinya kekambuhan penyakit.
Dengan kata lain, keluarga memiliki peran yang sangat krusial dalam proses pemulihan dan perawatan pasien skizofrenia.
Mekanisme Skizofrenia
Lantas, seperti apa mekanisme terjadinya skizofrenia? Berikut berbagai penjelasannya:
1. Mekanisme psikologis dalam perkembangan skizofrenia
Dalam perspektif psikologis, skizofrenia berkembang akibat kombinasi pengalaman traumatis, faktor genetik, dan mekanisme kognitif yang menyimpang.
Individu dengan skizofrenia sering kali mengalami waham yang kuat dan distorsi realitas, yang semakin memperparah isolasi sosial mereka.
Psikoterapi seperti terapi kognitif-perilaku (CBT) dapat membantu pengidapnya memahami dan mengelola waham serta mengembangkan keterampilan sosial untuk berfungsi lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.
2. Hipotesis dopamin dan peran glutamat dalam mekanisme neurologis
Salah satu teori utama dalam skizofrenia adalah hipotesis dopamin, yang menyatakan bahwa pengidapnya memiliki aktivitas dopamin yang berlebihan di area otak tertentu, terutama di sistem limbik, yang menyebabkan gejala psikotik seperti halusinasi dan waham.
Selain itu, ketidakseimbangan glutamat, neurotransmitter yang berperan dalam fungsi kognitif, juga dikaitkan dengan gangguan berpikir dan disorganisasi mental pada penderita skizofrenia.
Diagnosis Skizofrenia
Perlu diingat, melakukan self-diagnosis untuk kasus skizofrenia dapat berisiko dan tidak akurat.
Jika kamu atau orang terdekat mengalami gejala-gejala yang mencurigakan, segera konsultasikan dengan dokter spesialis jiwa untuk mendapatkan penanganan yang tepat dan profesional.
Guna mendapatkan diagnosis schizophrenia yang akurat, dokter akan melakukan beberapa tahapan pemeriksaan.
Ini termasuk wawancara, pemeriksaan kondisi fisik, mental, dan tes penunjang.
Ketika melakukan tes wawancara, dokter mungkin mengajukan beberapa pertanyaan berikut:
- Histori kondisi kejiwaan dan fisik pengidap dan keluarga.
- Riwayat ketika pengidap masih dalam kandungan dan kondisi masa kecil.
- Ada atau tidak kondisi traumatis selama hidup.
- Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan zat.
Sesuai dengan The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders atau DSM-5 Edisi ke 5, dokter akan mendiagnosis seseorang dengan kondisi schizophrenia jika menunjukkan beberapa kondisi berikut ini.
- Pengidap menunjukkan setidaknya dua dari beberapa gejala khas berikut:
- Halusinasi.
- Delusi.
- Berbicara dan perilaku yang kacau.
- Ada gejala negatif.
Setidaknya, salah satu dari dua gejala yang harus ada adalah halusinasi, berbicara kacau, dan delusi.
- Gejala yang muncul telah mengganggu aktivitas, sekolah, pekerjaan, hingga hubungan sosial pengidap.
- Gejala setidaknya telah berlangsung selama 6 bulan.
- Keluhan yang muncul tidak terjadi karena masalah kejiwaan lainnya, seperti penyalahgunaan obat terlarang atau bipolar.
Selain itu, dokter juga merekomendasikan beberapa tes pendukung dengan tujuan untuk mengesampingkan potensi gejala karena kondisi medis lainnya.
Pemeriksaan ini termasuk:
- Pemeriksaan darah lengkap.
- Tes fungsi ginjal, hati, dan tiroid.
- Pemeriksaan kadar gula darah, asam folat, elektrolit, vitamin D, kalsium, dan vitamin B12.
- Pengujian sampel urine guna mendeteksi penyalahgunaan zat terlarang.
- Pemeriksaan kehamilan jika pengidap adalah wanita dengan usia subur.
- CT scan otak atau MRI guna mengetahui ada atau tidaknya kelainan pada otak. Misalnya, vaskulitis, tumor otak, abses, dan hematoma subdural yang menjadi basis munculnya skizofrenia.
Cek Kondisi Kesehatan Mental dengan Fitur Ini
Kamu juga bisa melakukan tes-tes sederhana secara mandiri di Halodoc apabila merasakan tanda-tanda masalah kesehatan mental.
Nah, berikut beberapa tes kesehatan mental yang bisa kamu coba:
1. Cek Stres
Tes sederhana untuk mengukur tingkat stres yang kamu rasakan akibat padanya kegiatan sehari-hari atau karena kondisi lainnya.
2. Tes Depresi
Ini adalah tes yang akan mengukur tingkat depresi yang kamu alami. Tes ini singkat dan valid secara ilmiah serta telah digunakan oleh tenaga kesehatan.
Dalam tes ini terdapat 9 pertanyaan menggunakan skala 0 sampai 3 untuk menghitung skor akhir.
Jangan khawatir, skor kamu bersifat rahasia dan ahli kesehatan mental hanya dapat melihat informasimu jika kamu membagikannya.
3. Tes Gangguan Kecemasan
Tes ini adalah tes gangguan kecemasan dengan tes Generalized Anxiety Disorder-7. Ini adalah tes yang singkat dan valid secara ilmiah, serta telah digunakan oleh tenaga kesehatan.
Dalam tes ini terdapat 7 pertanyaan menggunakan skala 0 sampai 3 untuk menghitung skor akhir.
Jangan khawatir, skor kamu bersifat rahasia dan ahli kesehatan mental hanya dapat melihat informasimu jika kamu membagikannya.
Jangan lakukan self diagnosis terhadap kondisi yang sedang kamu rasakan!
Kamu bisa mencoba tes di atas atau menghubungi rekomendasi psikiater/psikolog di Halodoc untuk mendapat penjelasan yang lebih akurat.
Pengobatan Skizofrenia
Hingga kini, masih belum ada pengobatan yang efektif dan dapat menyembuhkan schizophrenia.
Penanganan medis bertujuan untuk mengurangi dan mengontrol gejala yang muncul.
Namun, pengidap perlu melakukan kontrol secara berkala sehingga dokter bisa mengetahui tingkat efektivitas obat, memberikan dosis yang sesuai, dan melakukan antisipasi terhadap efek samping obat.
Adapun pilihan penanganan medis yang dapat membantu mengatasi skizofrenia antara lain:
1. Obat
Guna mengatasi delusi dan halusinasi, dokter dapat memberikan obat antipsikotik, baik berupa injeksi maupun oral.
Obat tersebut dapat membantu mengurangi gejala delusi, sulit berkonsentrasi, halusinasi, hingga perasaan cemas dan bersalah berlebihan.
Dengan demikian, pengidap memiliki kapabilitas, kualitas hidup, dan hubungan sosial dengan orang lain yang lebih baik.
Akan tetapi, pengidap harus tetap mengonsumsi obat ini seumur hidup meski gejala telah berkurang, bahkan membaik.
Mau tahu apa saja obat-obatan untuk mengatasi skizofrenia? Baca di artikel ini: Kenali Jenis Obat Skizofrenia yang Umumnya Dokter Resepkan.
2. Psikoterapi
Selanjutnya, ada psikoterapi yang dilakukan dengan tujuan agar pengidap dapat mengontrol gejala schizophrenia yang muncul.
Biasanya, dokter akan menggabungkan terapi dengan obat. Adapun jenis psikoterapi yang menjadi rekomendasi termasuk:
- Terapi individu yang bertujuan untuk mengajarkan pada keluarga dan teman bagaimana cara berinteraksi dengan pengidap. Salah satu caranya yakni dengan mengerti apa yang menjadi perilaku dan pola pikir pengidap.
- Terapi perilaku kognitif, dilakukan dengan tujuan utama untuk mengubah pola pikir dan perilaku pengidap, membantu pengidap mengerti apa yang menjadi pemicu delusi dan halusinasi, serta mengajarkan cara tepat mengatasinya.
- Terapi remediasi kognitif yang bertujuan untuk melatih pangidap agar dapat mengerti kondisi lingkungan sekitarnya. Pilihan terapi ini juga membantu meningkatkan kapabilitas pengidap dalam mengingat atau memahami sesuatu serta mengontrol pola pemikirannya.
3. Terapi elektrokonvulsi
Jenis terapi ini dilakukan dengan mengalirkan listrik kecil pada otak guna memicu terjadinya kejang singkat yang masih dapat terkendali.
Terapi satu ini menjadi rekomendasi jika obat tidak memberikan hasil yang efektif.
Mulanya, dokter akan memberikan bius pada pengidap, lalu memasang elektroda pada kepala pengidap.
Selanjutnya, dokter akan mengalirkan arus listrik bermuatan ringan dari elektroda guna memicu kejang.
4. Transcranial magnetic stimulation (TMS)
Terakhir, pengobatan dengan metode Transcranial magnetic stimulation atau TMS. Ini adalah terapi dengan mengalirkan gelombang elektromagnetik menuju otak.
Prosedur awalnya, dokter akan melekatkan alat khusus yang dapat mengalirkan gelombang ke kepala pengidap tanpa memerlukan pembedahan. kan alat khusus yang dapat mengalirkan gelombang ke kepala pengidap tanpa memerlukan pembedahan.
Rekomendasi Obat Skizofrenia
Berikut ini beberapa rekomendasi obat skizofrenia yang umumnya diresepkan oleh dokter, antara lain:
- Risperidone 1 mg Tablet. Risperidone digunakan dalam terapi pada skizofrenia akut dan kronik, serta pada kondisi psikosis yang lain, dengan gejala-gejala tambahan. Contohnya seperti, halusinasi, delusi, gangguan pola pikir, kecurigaan dan permusuhan, dan gejala-gejala negatif yang terlihat nyata.
- Risperidone 2 mg Tablet. Selain untuk mengobati skizofrenia, obat ini juga dapat membantu menstabilkan emosi dan mengurangi gejala psikosis yang terjadi pada penderita skizofrenia.
- Abilify 5 mg 10 Tablet. Dengan kandungan aripiprazole, obat ini dapat digunakan untuk penyembuhan skizofrenia. Abilify juga bisa digunakan untuk gangguan bipolar, depresi, dan iritabilitas yang berhubungan dengan autisme.
- Quetvell 100 mg 10 Tablet. Quetvell tablet mengandung zat aktif Quetiapine fumarate. Quetvell bekerja dengan mengembalikan keseimbangan zat alai tertentu (neurotransmitter) di otak yang berperan penting dalam proses penyembuhan skizofrenia.
Obat skizofrenia bisa dibeli dengan resep dokter di Toko Kesehatan Halodoc.
Komplikasi Skizofrenia
Bila tidak mendapatkan penanganan, schizophrenia bisa berujung pada berbagai masalah serius yang dapat memengaruhi setiap aspek kehidupan pengidapnya.
Adapun komplikasi yang bisa terjadi atau ada kaitannya dengan skizofrenia, antara lain:
- Bunuh diri, upaya bunuh diri, atau pikiran untuk bunuh diri.
- Gangguan kecemasan dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD).
- Depresi.
- Penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan lain, termasuk nikotin.
- Ketidakmampuan untuk bekerja atau bersekolah.
- Masalah keuangan dan potensi menjadi tunawisma.
- Isolasi sosial.
- Masalah kesehatan dan medis.
- Perilaku agresif, meskipun jarang terjadi.
Dampak Skizofrenia dalam Aspek Sosial dan Budaya
Berikut berbagai dampak skizofrenia pada aspek sosial dan budaya:
1. Stigma sosial dan pengaruhnya terhadap integrasi sosial
Pengidap skizofrenia sering kali menghadapi stigma sosial yang kuat, yang membuat mereka sulit untuk berintegrasi dalam masyarakat.
Banyak orang memiliki kesalahpahaman bahwa skizofrenia identik dengan kekerasan, meskipun sebagian besar pengidap lebih mungkin menjadi korban daripada pelaku kekerasan.
Akibatnya, mereka sering dikucilkan dari lingkungan sosial, kehilangan dukungan keluarga, serta mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan atau pendidikan yang layak.
2. Peran media dalam memengaruhi persepsi publik
Media memiliki peran besar dalam membentuk pemahaman masyarakat tentang skizofrenia.
Sayangnya, banyak pemberitaan yang menyoroti hubungan antara skizofrenia dan tindakan kekerasan, meskipun hubungan ini tidak selalu akurat.
Film, acara televisi, dan berita sering kali menggambarkan pengidap skizofrenia sebagai individu yang berbahaya dan tidak terkendali, yang semakin memperburuk stigma dan menghambat pemulihan mereka dalam kehidupan sosial.
3. Dampak sosioekonomi dan faktor etnisitas
Skizofrenia memiliki dampak ekonomi yang besar, baik bagi individu yang mengalaminya maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
Biaya pengobatan jangka panjang, kehilangan pekerjaan, dan ketidakmampuan untuk hidup mandiri sering kali membuat pengidap berada dalam lingkaran kemiskinan.
Faktor seperti etnisitas dan akses terhadap layanan kesehatan juga memainkan peran penting dalam penanganan skizofrenia, dengan kelompok tertentu yang kurang memiliki akses terhadap pengobatan yang memadai akibat hambatan finansial atau diskriminasi sistemik.
Pencegahan Skizofrenia
Hingga kini, belum ada cara pencegahan skizofrenia yang pasti dan efektif.
Meski begitu, diagnosis maupun penanganan sedini mungkin bisa membantu mencegah terjadinya perburukan gejala dan kondisi yang lebih serius lagi.
Tidak hanya itu, keluarga, kerabat, pasangan, dan teman juga setidaknya mengetahui cara mengenali gejala kelainan mental ini sejak dini.
Misalnya, pengidap mengalami halusinasi maupun delusi serta mengenali apa saja yang meningkatkan risiko kondisi ini.
Dengan demikian, interaksi sosial dan komunikasi dengan pengidap akan lebih optimal.
Terakhir diperbarui pada 18 Februari 2025.
Referensi:
Healthline. Diakses pada 2025. What Do You Want to Know about Schizophrenia?
Mayo Clinic. Diakses pada 2025. Schizophrenia.
WebMD. Diakses pada 2025. Schizophrenia.
National Institutes of Health – MedlinePlus. Diakses pada 2025. Schizophrenia.
National Health Service – UK. Diakses pada 2025. Schizophrenia.
American Psychiatric Association. Diakses pada 2025. Schizophrenia.
National Institute of Mental Health. Diakses pada 2025. Schizophrenia.
Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa. Diakses pada 2025. Self-Efficacy dan Peran Keluarga Berhubungan dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia.
Frequently Ask Question
1. Penyakit skizofrenia itu seperti apa?
Penyakit skizofrenia adalah gangguan jiwa yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Pengidapnya kesulitan membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Mereka mungkin mendengar suara yang tidak ada (halusinasi auditorik), melihat hal-hal yang tidak ada (halusinasi visual), atau memiliki keyakinan yang aneh dan tidak berdasar (delusi).
Selain itu, mereka juga bisa mengalami gangguan dalam berpikir, seperti kesulitan berkonsentrasi atau mengikuti percakapan.
2. Apa yang dilihat pengidap skizofrenia?
Apa yang dilihat pengidap skizofrenia sangat beragam.Beberapa mungkin melihat objek sederhana seperti bentuk geometris atau cahaya yang berkedip, sementara yang lain mungkin melihat orang, hewan, atau pemandangan yang kompleks.
Halusinasi visual ini bisa sangat nyata dan menakutkan bagi pengidapnya.
3. Mengapa skizofrenia dikategorikan sebagai gangguan jiwa berat?
Skizofrenia dapat memengaruhi hampir semua aspek kehidupan seseorang, termasuk pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan untuk merawat diri sendiri.
Kondisi ini juga bersifat jangka panjang, sehingga perawatan terus-menerus. Meskipun gejala dapat membaik dengan pengobatan, kondisinya seringkali kambuh kembali.
Meskipun ada obat-obatan yang dapat membantu mengelola gejala skizofrenia, tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya secara total.
4. Kapan ciri-ciri skizofrenia mulai muncul pada seseorang?
Munculnya gejala skizofrenia pada seseorang bervariasi, tetapi biasanya terjadi pada akhir masa remaja atau awal usia dewasa (antara usia 16-30 tahun).
Namun, ada juga kasus di mana gejala muncul pada masa kanak-kanak atau usia lanjut.
Penting untuk diingat bahwa setiap individu mengalami skizofrenia dengan cara yang berbeda, sehingga waktu munculnya gejala dan tingkat keparahannya juga dapat berbeda-beda.