Kenapa Pelaku KDRT Lebih Sering Laki-laki?

Ditinjau oleh  dr. Rizal Fadli   18 September 2019
Kenapa Pelaku KDRT Lebih Sering Laki-laki?Kenapa Pelaku KDRT Lebih Sering Laki-laki?

Halodoc, Jakarta – Berita viral seminggu terakhir ini adalah artis Tiga Setia Gara yang diduga mengalami KDRT. Beberapa artis sebelumnya juga mengaku mengalami KDRT, seperti Cornelia Agatha, Manohara Odelia Pinot, dan pastinya bukan hanya kalangan pesohor saja, KDRT bisa terjadi pada siapa saja. Tapi seringnya korban KDRT adalah perempuan dan pelakunya laki-laki.

Bisa dibilang kondisi ini adalah insting biologi laki-laki. Menurut Jesse Prinz Ph.D, profesor dari City University of New York yang mempelajari tentang persepsi, emosi, dan kebudayaan manusia mengungkapkan 90 persen pembunuhan yang terjadi di dunia dilakukan oleh laki-laki. 

Secara biologis, laki-laki juga diprogram lebih agresif, baik untuk mendapatkan perhatian lawan jenis maupun menjadi dominan di antara sesamanya. Simak penjelasan lebih lengkapnya di sini!

 

Faktor Biologis, Sejarah, dan Budaya 

Lebih lanjut dalam artikelnya yang dimuat di laman Psychology Today, Jesse Prinz mengungkapkan kalau dirunut dari sejarah, laki-laki memang lebih dominan. Ini dilihat dari biologis maupun psikologis. 

Di zaman berburu dan mengumpulkan makanan, laki-laki bergantung pada perempuan, karena perempuan menyediakan sumber makanan. Ketika zaman berganti menjadi pertanian dan peternakan, terjadi perubahan di mana laki-laki bisa mendominasi. Ini dikarenakan dari sisi biologis postur laki-laki yang cenderung lebih besar ketimbang perempuan.

Kekuatan dan kemampuan ini membuat perempuan menjadi bergantung pada laki-laki. Dan ketergantungan ini memberi kesempatan pada laki-laki untuk mendominasi perempuan. Ini termasuk dalam hal pendidikan, tenaga kerja, lembaga-lembaga pemerintahan, dan termasuk menganiaya. 

Baca juga: 6 Trauma Akibat Kekerasan Seksual

Inilah sejatinya yang menjelaskan kenapa laki-laki cenderung lebih agresif ketimbang perempuan. Tidak hanya pengaruh biologi, sejarah, dan budaya juga memengaruhi, sehingga berakar sampai sekarang dan membentuk pada kondisi kejiwaannya. 

Pun, secara psikologi, ketika seseorang mendapatkan kekuasaan, dia akan cenderung untuk mempertahankannya—demikian juga laki-laki ketika berada dalam rumah tangga atau pernikahan. Merasa memenuhi kebutuhan dapur keluarga, sehingga merasa punya hak untuk mengatur segala sesuatunya. 

Selain itu, laki-laki juga punya kecenderungan xenofobia, yaitu ketakutan pada orang baru atau sesuatu yang masih asing. Pun, laki-laki lebih suka hierarki dominasi sosial untuk menunjukkan sifat kompetitifnya. Berbeda dengan perempuan yang punya kecenderungan lebih bisa diajak bekerja sama.

 

Peran Lingkungan

Tidak bisa dipungkiri, faktor biologi dan sejarah membuat seorang laki-laki cenderung agresif dan melakukan tindak kekerasan. Namun ini tidak semata menjadi faktor tunggal, karena bila iya itu berarti semua laki-laki di dunia akan melakukan kekerasan.

Faktanya, masih ada faktor pendukung lain, seperti trauma masa kecil. Kalau menurut psikolog kawakan Ian Hughes dan juga penulis buku Disordered Minds: How Dangerous Personalities are Destroying Democracy, trauma masa kecil dapat menyebabkan seseorang (laki-laki) untuk melakukan kekerasan saat dewasa. 

Sejatinya, pengasuhan yang sangat disfungsional dapat menyebabkan masalah akut dalam perkembangan anak yang pada gilirannya dapat mengakibatkan perilaku nakal, termasuk kekerasan ketika dewasa kelak. 

Baca juga: 5 Trik Didik Anak Laki-laki Agar Tak Kasar Terhadap Anak Perempuan

Kemudian, faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kekerasan adalah pengaruh kelompok pada perilaku individu tersebut. Dan tidak kalah penting dari kesemua faktor yang menyebabkan kenapa pelaku kekerasan atau KDRT adalah laki-laki, yaitu konstruksi gender. 

Konstruksi gender dibangun sejak bayi yang memengaruhi pandangannya terhadap gender tertentu. Sejak kecil anak dididik dan diajarkan mengenai peran laki-laki dan perempuan, serta apa yang harus dan tidak harus dilakukan. 

Anak laki-laki diasosiasikan sebagai seseorang yang tangguh, kuat, dan jantan. Nah, disadari atau tidak konstruksi maskulinitas seperti inilah yang bisa meningkatkan kemungkinan seorang anak menjadi tumbuh lebih keras, bahkan bukan tak mungkin bertindak kejam. 

Sangat penting untuk memberikan konsep-konsep yang benar selama masa tumbuh kembang anak supaya anak tidak salah dalam berperilaku ketika dewasa kelak. Kalau orang tua ingin menanyakan informasi lebih jelas bagaimana pola asuh yang benar bisa tanyakan langsung ke Halodoc.  

Dokter dan psikolog yang ahli di bidangnya akan berusaha memberikan solusi terbaik untuk orang tua. Caranya, cukup download aplikasi Halodoc lewat Google Play atau App Store. Melalui fitur Contact Doctor, ibu bisa memilih kapan dan di mana saja mengobrol lewat Video/Voice Call atau Chat.

Referensi:
Psychology Today. Diakses pada 2019. Why Are Men So Violent?
The Journal. Diakses pada 2019. Why are men likely to be violent than women?