Ini Penjelasan Puasa dapat Menyembuhkan Maag

Ditinjau oleh  dr. Rizal Fadli   05 April 2021
Ini Penjelasan Puasa dapat Menyembuhkan MaagIni Penjelasan Puasa dapat Menyembuhkan Maag

Halodoc, Jakarta - Tidak hanya berpahala, berpuasa selama sebulan penuh bagi umat Muslim juga memberikan banyak manfaat bagi kesehatan. Namun, bagi pengidap sakit maag, puasa terkadang bisa menjadi satu tantangan tersendiri karena memicu kondisi yang semakin buruk. 

Namun, sebenarnya kamu tidak perlu khawatir karena ternyata puasa bisa membantu meringankan sakit maag. Apakah benar demikian? Ini ulasannya.

Baca juga: 4 Tips Cegah Maag Kambuh saat Puasa

Cara Puasa Menyembuhkan Maag

Puasa memiliki banyak manfaat, termasuk untuk pengidap maag. Maag (indigestion) adalah istilah yang menggambarkan rasa nyeri yang berasal dari lambung, usus halus, atau kerongkongan akibat sejumlah kondisi. Sebutan lain sakit maag adalah dispepsia. Gejalanya adalah rasa sakit atau perih di daerah ulu hati, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, sering bersendawa, nafsu makan menurun, nyeri atau panas dada, dan mulut terasa pahit.

Tahukah kamu, peningkatan asam lambung hanya terjadi pada minggu awal puasa saja. Setelah memasuki minggu kedua, asam lambung akan kembali normal. Melalui puasa, kadar hormon gastrin dalam tubuh membantu menurunkan asam lambung. Sederhananya, tubuh membutuhkan penyesuaian dengan kondisi puasa, ketika biasanya kamu makan secara rutin, puasa membuat jam makan mengalami perubahan yang cukup signifikan. 

Baca juga: Asam Lambung Naik saat Puasa, Begini Cara Mencegahnya

Studi yang dipublikasikan dalam Australian Prescriber menyatakan, dispepsia fungsional merupakan permasalahan yang terjadi pada saluran gastrointestinal atas, dengan gejala mudah kenyang, meski hanya makan sedikit, mual, mulas, bahkan terjadi penurunan berat badan.

Sayangnya, pengidap dispepsia fungsional sering kali turut mengalami depresi atau gangguan kecemasan berlebihan, bahkan gejalanya pun lebih buruk dibandingkan dengan gejala klinis penyakit itu sendiri, sesuai dengan studi yang diterbitkan dalam Deutsches Arzteblatt International.

Sementara itu, pada kelompok yang mengidap sakit maag organik, seperti adanya luka di kerongkongan, lambung, atau usus dua belas jari juga tetap dianjurkan berpuasa, tetapi wajib disertai dengan konsumsi obat tertentu.

Tahapan awal dalam mengobati maag adalah makan dengan waktu yang teratur, menghindari camilan, hindari makanan yang mengandung coklat, keju, dan lemak, serta mengelola stres dengan baik.

Baca juga: Makanan yang Harus Dihindari Pengidap Maag

Punya Sakit Maag, Ini Tips Nyaman Berpuasa

Selama puasa pun pasti kamu akan makan dengan sangat teratur. Saat berbuka, kamu harus berusaha mengonsumsi makanan manis, baru setelah salat magrib makan dengan porsi normal.

Jadi, selama kamu menghindari hal-hal buruk seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bukan tidak mungkin puasa menyembuhkan maag itu benar adanya, sehingga kamu akan dapat menjalani puasa sebulan penuh tanpa beban.

Studi yang dimuat dalam Govaresh menyatakan, puasa Ramadan tidak memberikan dampak signifikan pada pengidap maag. Pengidap hanya dianjurkan untuk menghindari makan secara berlebihan ketika sahur dan berbuka, karena hal ini yang memicu kenaikan asam lambung

Selain itu, konsumsilah obat secara teratur sesuai dengan saran dokter. Jadi, akan lebih baik lagi kalau kamu bertanya dulu pada dokter jika ingin berpuasa dalam kondisi memiliki riwayat penyakit maag. Kamu bisa download dan pakai aplikasi Halodoc kapan saja untuk tanya jawab dengan dokter ahli penyakit dalam. Tidak hanya itu, kamu juga bisa beli obat melalui aplikasi Halodoc dengan memilih fitur pharmacy delivery. Jadi, beli obat tak perlu lagi ke apotek. 

Referensi:
Rahimi, Hojjatolah, et al. 2017. Diakses pada 2021. Effects of Ramadan Fasting on Dyspepsia Symptoms. Goverish 22(3): 188-194.
Talley, Nicholas J. et al. 2017. Diakses pada 2021. Functional Dyspepsia. Australian Prescriber 40(6): 209-213.
Madisch, Ahmed, et al. 2018. Diakses pada 2021. The Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia. Deutsches Ärzteblatt International 115(13): 222-232.