Cekrek-edit-upload bisa Jadi Tanda Penyakit

Ditinjau oleh  Redaksi Halodoc   22 Februari 2018
Cekrek-edit-upload bisa Jadi Tanda PenyakitCekrek-edit-upload bisa Jadi Tanda Penyakit

Halodoc, Jakarta – Mengunjungi sebuah tempat baru yang indah tak lengkap rasanya jika tak diabadikan lewat sebuah foto. Biasanya orang-orang akan memilih untuk mengambil foto diri berlatar keindahan dari tempat  tersebut. Lalu, mengunggahnya ke media sosial. Bisa dibilang kebiasaan ini termasuk bagian dari gaya hidup untuk menunjukkan kalau kamu “eksis”.

Tapi tunggu dulu, sepertinya ada satu tahap yang terlewat. Ya, edit foto. Sebelum diunggah ke media sosial sebagai bukti eksistensi diri, foto-foto tersebut  tentu harus melewati tahap edit untuk lebih mempercantiknya. Perkembangan teknologi nyatanya bisa memudahkan siapapun untuk “menyulap” foto menjadi lebih fantastis. Mulai dari menjadikan bentuk wajah lebih tirus atau proporsional, hingga kulit lebih halus dan bebas noda.

Sayangnya, kebiasaan ini ternyata tak sepenuhnya baik bahkan bisa menyebabkan gangguan mental. Kok, bisa?

Mengedit foto seringnya bertujuan untuk membuat hasil gambar menjadi lebih menarik. Hal inilah yang kemudian bisa membuat seseorang merasa selalu tidak puas akan hasil editannya, hingga berakhir dengan rasa cemas. Seperti “Apakah foto yang saya unggah sudah cukup  bagus?” atau “Apakah orang-orang akan menyukai foto saya”.

Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian terus berputar di kepala dan menyebabkan seseorang mengalami kecanduan mengedit foto diri sebelum mengunggahnya ke media sosial. Selain itu, beragam filter yang ada pada media sosial nyatanya malah bisa menimbulkan masalah lain. Seseorang cenderung akan membandingkan hasil foto yang ia edit dengan foto milik orang lain. Padahal apa yang coba dibandingkan dan “dipamerkan” lewat unggahan tersebut belum tentu sesuai kenyataan.

Terlalu banyak perubahan di sana dan di sini pada akhirnya akan membuat kabur sebuah realita yang ada di dalam suatu foto. Dan tanpa disadari, media sosial akhirnya menjadi ajang untuk saling memamerkan sesuatu, seperti kemewahan atau hal-hal tertentu yang sulit dilakukan semua orang. Tentunya ada usaha lebih yang perlu dilakukan untuk mendapatkan foto-foto dengan “pesona palsu” tersebut untuk sekadar mengunggahnya.

Bisa Berujung Depresi

Penelitian membuktikan bahwa saat ini pengguna internet, terutama medsos semakin meningkat. Dan banyak dari mereka yang mulai mengalami sindrom tertentu, seperti gila mengedit foto dan haus akan perhatian berbentuk komentar atau likes di postingan mereka. Jika tak mendapatkannya, ia mungkin akan mengalami tekanan, perasaan sedih, bahkan berujung depresi.

Bisanya hal ini terjadi karena ketikdamampuan dalam melihat bahwa postingan di media sosial nyatanya hanya sebagian kecil dari realita kehidupan. Akibatnya, hidup dalam kesempurnaan semu dan penuh kepalsuan adalah harga yang harus dibayar.

Perasaan rendah diri dan tidak puas dengan kehidupan yang dimiliki pun akan tercipta karena selalu membandingkan hidup dengan milik orang lain yang terlihat di media sosial. Dalam hal ini, peluang untuk terjadinya perundungan atau "bullying" pun semakin besar.

Survei lain menemukan bahwa semakin banyak seseorang menggunakan media sosial, maka semakin tinggi risiko mengalami depresi. Orang yang memiliki tujuh atau lebih media sosial berisiko mengalami depresi hingga 3 kali lebih besar dibanding yang hanya memiliki dua atau tiga aplikasi.

Nah, nyatanya dunia maya hanyalah sebatas media yang tak bisa disamakan dengan kehidupan nyat. Biar kamu enggak mengalami hal serupa, penting untuk mengatur dan membatasi waktu yang dihabiskan untuk berselancar di internet. Habiskan waktu lebih banyak untuk menjalani “kenyataan” daripada  di media sosial.

Punya masalah kesehatan dan butuh saran dokter? Pakai aplikasi Halodoc saja! Download di App Store dan Google Play untuk mulai berbicara dengan dokter lewat Video/Voice Call dan Chat. Sampaikan seluruh keluhan kesehatan di Halodoc dan dapatkan saran serta resep digital dari dokter agar sakit lebih cepat sembuh.