Roleplay di Media Sosial Bisa Berdampak pada Psikologi Anak
“Roleplay adalah permainan peran di mana seseorang berpura-pura menjadi orang lain di lingkungan tertentu, seperti media sosial. Meski menyenangkan, terdapat beberapa dampak roleplay di media sosial yang bisa bersifat negatif jika dilakukan oleh anak.”
Halodoc, Jakarta – Roleplay merupakan jenis permainan yang bisa seseorang lakukan dengan orang lain dengan cara berpura-pura menjadi orang lain sebagai peran yang ia mainkan. Tokoh tersebut bisa berupa selebritas, orang terkenal, ataupun karakter fiksi. Dalam masyarakat saat ini, roleplay muncul dalam berbagai bentuk dan kegiatan.
Salah satu tempat seseorang melakukan roleplay adalah media sosial. Ini adalah media yang sangat nyaman bagi para pemain peran atau roleplayer karena bisa berinteraksi dengan pemain lain tanpa mengetahui satu sama lain. Selain itu, mereka juga tidak perlu menunjukkan diri mereka yang sebenarnya jika mereka tidak ingin. Roleplay diambil dari kosa kata bahasa Inggris yang berarti ‘bermain peran’.
Meski kesannya remeh, ada beberapa dampak roleplay di media sosial yang bisa terjadi pada individu yang melakukannya. Terlebih lagi jika individu tersebut adalah anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan. Simak berikut ini apa saja dampaknya!
Dampak Psikologis Roleplay di Media Sosial
Kegiatan roleplay di media sosial umumnya tidak anak lakukan untuk tujuan selain kesenangan. Tetapi, bisa ada beberapa efek negatif yang bisa terjadi pada kondisi psikologisnya jika sering ia lakukan, antara lain:
1. Menumbuhkan ketergantungan
Segala hal yang memberikan kesenangan bisa memunculkan perasaan tersebut karena peningkatan hormon dopamine. Peningkatan ini juga bisa terjadi ketika anak mendapatkan validasi verbal, kenyamanan, dan kesenangan dengan memainkan peran tertentu.
Namun, perlu kamu ketahui bahwa rasa kebahagiaan ini hanya akan berada sesaat. Ketika kesehatan mental sudah menurun dan rasa tersebut hilang, pemain akan terdorong untuk kembali melakukan hal yang sama agar bisa merasakan kebahagiaan lagi. Maka dari itu, roleplay menjadi suatu kegiatan yang anak lakukan terus-menerus.
Jika roleplay di media sosial dalam jangka panjang, bisa tumbuh ketergantungan atau adiksi pada media sosial dan kegiatan bermain peran itu sendiri. Ketergantungan terhadap hal ini bisa berbahaya bagi pertumbuhan emosional anak.
Sudah tahu fenomena yang membuat seseorang tertarik dengan karakter fiksi? Baca selengkapnya di artikel ini: “Mengenal Fictophilia: Tanda-Tanda dan Cara Efektif Mengatasinya“.
2. Berbohong secara kompulsif
Pada dasarnya, seseorang yang sedang bermain peran akan membuat skenario atau latar belakang karakter berdasarkan imajinasinya. Harusnya hal yang bisa mengasah imajinasi anak adalah hal yang baik bukan? Ini memang benar, namun melakukannya terlalu sering dan terlalu intens bisa menimbulkan dampak negatif.
Berpura-pura menjalani kehidupan yang sebenarnya tidak nyata bisa memudarkan batas antara hal yang nyata dan tidak. Karena hal ini, anak yang masih dalam pertumbuhan bisa dengan mudahnya berbohong tentang kehidupan mereka. Inilah yang dalam psikologi bernama compulsive lying.
Seseorang yang bohong secara kompulsif umumnya sering disebut juga pathological liar. Kedua hal ini sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Pembohong patologis cenderung menyatakan hal yang tidak benar atas dasar manipulasi, namun pembohong kompulsif melakukan hal tersebut karena kebiasaan atau bahkan tanpa alasan.
3. Kepercayaan diri rendah
Kepercayaan diri yang rendah memiliki keterkaitan erat dengan penggunaan media sosial yang tinggi. Penelitian menemukan bahwa seseorang cenderung membandingkan dirinya dengan orang-orang lain yang ia lihat di media sosialnya, mendorong rasa tidak puas pada diri sendiri.
Selain itu, seorang roleplayer juga bisa memiliki penilaian dan kepercayaan diri yang rendah karena mereka secara konstan memainkan peran yang mereka lihat lebih baik atau menarik daripada diri mereka sendiri. Perilaku ini bisa menimbulkan rasa minder pada identitas diri yang sebenarnya karena terasa lebih inferior.
4. Perilaku asosial
Menghabiskan mayoritas waktu luang di media sosial juga bisa menghambat anak berinteraksi dengan teman-teman sebayanya di dunia nyata. Tidak hanya itu, mereka akan lebih mudah merasa terisolasi dari dunia luar karena kurangnya koneksi dengan orang lain yang mereka kenal.
Lambat laun, anak bisa menumbuhkan perilaku asosial, yaitu ketidakadaan motivasi untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial. Agar tidak tertukar dengan gangguan antisosial, kamu bisa Ketahui Perbedaan Antisosial dan Asosial.
Itulah beberapa dampak roleplay di media sosial pada psikolog anak. Kalau Si Kecil terindikasi salah satu masalah di atas, jangan ragu untuk segera meminta bantuan lebih lanjut dengan hubungi psikolog anak melalui aplikasi Halodoc.
Kini, kamu bisa berkonsultasi dengan praktis kapan saja dan dari mana saja. Tunggu apa lagi? Ayo download Halodoc sekarang juga!
Referensi:
The Britannica Dictionary. Diakses pada 2023. Roleplay.
GoodTherapy. Diakses pada 2023. Compulsive Lying.
ScrubbingIn by BSW Health. Diakses pada 2023. Why social media is making me anti-social.
Science Direct. Diakses pada 2023. Why do people lie online? “Because everyone lies on the internet”.
Berlangganan Artikel Halodoc
Topik Terkini
Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan