Pasien yang Sembuh Tidak Akan Tulari Virus Corona?
Halodoc, Jakarta – Lebih dari dua juta penduduk di seluruh dunia kini dilaporkan mengidap COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus corona jenis baru SARS-CoV-2. Meski begitu, berbagai negara yang melakukan penanganan yang tepat dan cepat juga berhasil membuat sebagian besar penduduknya sembuh dari COVID-19.
Di Indonesia, pada Minggu (19/4) sudah tercatat ada 6.575 orang yang dinyatakan positif. Di dalam angka tersebut termasuk 582 orang yang sudah meninggal dan 686 orang lainnya yang berhasil sembuh. Pada konferensi pers yang disiarkan BNPB, Achmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona COVID-19 menegaskan, pasien yang sudah sembuh tidak akan menularkan penyakitnya lagi. Sehingga diharapkan masyarakat paham dan tidak melakukan diskriminasi kepada mereka.
Pertanyaannya, apakah benar pasien yang sudah sembuh benar-benar sudah tidak akan lagi menularkan virus corona?
Baca juga: Terapi Plasma Darah untuk Atasi Virus Corona
Bisakah Pasien Sembuh Menulari Virus Corona?
Achmad Yurianto menegaskan kembali bahwa untuk memastikan seseorang sembuh dari COVID-19 dilakukan berdasarkan dengan persyaratan yang ada. Jika gejala sudah tidak tampak, mereka harus menjalani dua kali tes dengan rentang waktu tertentu. Apabila dua tes tersebut menyatakan ia negatif, barulah mereka diizinkan untuk pulang ke rumahnya dan melakukan isolasi mandiri. Jadi, virus di dalam tubuhnya benar-benar dipastikan sudah tidak ada sehingga tidak akan menularkan kepada orang di sekitar atau menjadi silent carrier.
Penjelasan semacam ini perlu ditekankan kembali agar mereka yang sudah kembali ke rumah untuk melakukan karantina mandiri tidak mendapatkan perlakukan diskriminatif dari masyarakat.
Namun, pasien sembuh dan orang-orang yang tinggal bersamanya juga tetap harus menerapkan pola hidup sehat, seperti rajin mencuci tangan, makan makanan bergizi, olahraga, dan istirahat yang cukup. Beberapa penelitian masih banyak yang cukup meragukan hal ini karena sudah terjadi beberapa kali kasus seseorang yang kembali positif meski sebelumnya sudah sembuh.
Ebenezer Tumban, ahli virus di Michigan Tech University menyebutkan, harus selalu berhati-hati dan menjaga kebersihan diri karena tidak jarang virus bertahan pada level rendah dalam tubuh bahkan setelah seseorang sembuh dari suatu penyakit.
Ia mengambil contoh virus Zika dan virus Ebola yang diketahui dapat bertahan selama berbulan-bulan setelah pasien pulih. Ia mengingatkan virus SARS-CoV-2 ini tercatat masih sangat baru dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi.
Sebuah tes bisa saja tidak akan cukup sensitif untuk mendeteksi virus, karena jumlah virus yang sangat sedikit. Setelah pengobatan antivirus berakhir, virus mungkin sudah mulai mereplikasi lagi pada tingkat rendah. Tidak akan ada cukup virus untuk menyebabkan kerusakan jaringan, sehingga pasien tidak merasakan gejala.
Pada kondisi tersebut, seseorang hanya memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menularkan kembali. Batuk dan bersin memang bisa memuntahkan partikel virus di sekitarnya, tetapi orang-orang dengan kondisi ini tidak batuk atau bersin. Oleh karena itu, pentingnya untuk tetap berhati-hati dalam pengaturan rumah tangga dan menjaga kebersihan diri dengan rajin cuci tangan.
Baca juga: Pentingnya Lakukan Tes Swab pada Ibu Hamil
Ingat, Tes Bisa Saja Salah
Melansir Huffington Post, para ilmuwan memiliki beberapa teori tentang penyebab seseorang masih bisa dinyatakan positif pada tesnya meskipun sudah merasa lebih baik. Pertama, tes COVID-19 mendeteksi sisa-sisa dan jejak virus, tetapi bukan virus langsung yang menular itu sendiri. Sisa-sisa virus dapat saja terdeteksi tetapi bukan virus langsung yang menular. Ada kemungkinan bahwa sistem kekebalan menghancurkan virus dan kamu hanya melihat potongan materi genetik yang tertinggal, dan itulah yang terdeteksi.
Ada juga peristiwa langka di mana tes seseorang menghasilkan hasil positif palsu, atau hasil positif ketika pada kenyataannya mereka tidak memiliki virus. Positif palsu tidak umum, tetapi mereka memang terjadi dari waktu ke waktu, terutama karena campuran spesimen atau kontaminasi yang tidak disengaja di laboratorium.
Para ahli juga menduga positif yang berkepanjangan dapat dikaitkan dengan adanya masalah dalam sistem kekebalan tubuh. Membersihkan tubuh dari virus adalah pekerjaan yang sulit untuk sistem kekebalan tubuh. Mereka yang memiliki sistem kekebalan yang lebih lemah juga lebih sulit untuk menyingkirkan virus dari dalam tubuh.
Physical Distancing Tetap Penting Dilakukan
Secara teori, seseorang bisa menjadi kurang menular setelah mereka pulih daripada pada awal atau puncak penyakit mereka. Hal ini cukup masuk akal, mengingat setidaknya mereka tidak batuk atau bersin terlalu banyak, sebab pada cara ini tetesan pernapasan dengan mudah tersebar.
Namun sekali lagi, para ilmuwan masih belum memiliki bukti yang jelas. Sebagian infeksi tampaknya bervariasi dari orang ke orang. Inilah pentingnya tetap melakukan physical distancing dan upaya perlindungan diri. Tujuannya untuk mengurangi penularan dari orang yang asimptomatis atau tidak bergejala. Mengingat penyebaran yang cepat, adalah hal yang tepat untuk terus tinggal di rumah selama beberapa waktu bahkan setelah sembuh dari penyakit ini.
Baca juga: Ini Yang Mungkin Terjadi Jika Physical Distancing Diakhiri Terlalu Cepat
Pastikan bahwa gejala penyakit yang kamu alami bukan karena COVID-19. Jika khawatir untuk datang ke rumah sakit atau klinik saat memiliki keluhan penyakit, kamu bisa chat dengan dokter di Halodoc perihal kesehatan yang kamu alami. Kamu tidak perlu keluar rumah untuk mendapatkan layanan kesehatan. Praktis, bukan? Download aplikasi Halodoc sekarang juga!