“Nasionalisme Vaksin" Berpotensi Perpanjang Pandemi COVID-19
Halodoc, Jakarta - Berbagai negara beserta perusahaan farmasi dan universitas terkemuka, terus gencar melakukan riset vaksin virus corona untuk menghentikan pandemi COVID-19. Meski umumnya perjalanan sebuah vaksin amat panjang, memakan waktu tahunan atau dekade, tapi vaksin corona terbilang ‘spesial’. Lewat beragam kerja sama, vaksin ini diharapkan rampung pada 2021, atau bahkan di akhir tahun ini.
Perkembangan vaksin virus corona beragam. Ada yang prosesnya lancar, ada pula yang terhalang kendala. Vaksin milik Rusia, contohnya. Vaksin bernama Sputnik V ini dikabarkan siap diproduksi (dengan "sertifikat pendaftaran bersyarat”) meski belum merampungkan uji klinis fase III.
Di lain pihak, riset vaksin potensial milik AstraZeneca dan Oxford mesti diberhentikan sementara. Alasannya, vaksin ini diduga menimbulkan masalah kesehatan pada relawan atau peserta penelitian.
Nah, selain proses perkembangan vaksin COVID-19, ada pula satu hal yang kini menjadi fokus perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Masalah yang cukup dilema dan pelik ini disebut dengan “nasionalisme vaksin”.
Baca juga: Ini Tahapan Pengujian dan Perkembangan Global Vaksin Corona
“Nasionalisme Vaksin" Perpanjang Pandemi, Apa Sebabnya?
Pada 18 Agustus lalu, direktur jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, memberikan peringatan keras mengenai vaksin virus corona. Menurutnya, negara-negara yang mengutamakan kepentingan mereka sendiri dalam upaya untuk memastikan pasokan vaksin virus corona, dapat memperburuk pagebluk COVID-19.
“(Bertindak) secara strategis dan global sebenarnya adalah kepentingan nasional masing-masing negara, tidak ada yang aman sampai semua orang aman,” ujarnya dalam rapat virtual yang menyerukan diakhirinya “nasionalisme vaksin”.
Pemimpin WHO tersebut telah menyurati semua anggota WHO untuk bergabung dalam COVID-19 vaccine access (COVAX). COVAX adalah inisiatif global yang bertujuan untuk bekerja sama dengan produsen vaksin, untuk memberikan akses yang adil dan efektif kepada negara-negara di seluruh dunia.
Masalahnya, tidak semua negara setuju terhadap anjuran WHO ini. Sebut saja negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) yang memiliki pertimbangan sendiri. Saat ini, AS masih kewalahan menghadapi lebih dari 6,5 juta kasus positif COVID-19.
Baca juga: Ini 7 Perusahaan Pembuat Vaksin Virus Corona
Alih-alih bergabung dengan COVAX, AS justru mengamankan pasokan vaksin untuk negaranya sendiri melalui kesepakatan bilateral. Alhasil, AS memastikan untuk tak bergabung dengan COVAX. Lalu, apa tanggapan WHO?
Tanpa menyebut negara mana pun, Tedros dengan tegas mengatakan bahwa "nasionalisme vaksin" akan memperpanjang pandemi, bukan memperpendeknya.
“Jika kita memiliki vaksin yang efektif, sebaiknya juga harus menggunakannya secara efektif. Dengan kata lain, prioritas pertama yang harus dilakukan adalah mengimunasi beberapa orang di semua negara. Bukan memvaksin semua orang, tapi hanya di beberapa negara," ujarnya.
Adil Mengamankan Dosis Vaksin
COVAX dipimpin oleh berbagai organisasi seperti Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), Gavi, Vaccine Alliance, dan WHO yang bekerja di dengan produsen vaksin negara maju dan berkembang.
Proyek COVAX ini merupakan satu-satunya inisiatif global yang bekerja dengan pemerintah dan produsen, untuk memastikan vaksin COVID-19 tersedia di seluruh dunia, baik di negara berpenghasilan tinggi atau berpenghasilan rendah.
Proyek yang satu ini memiliki tujuan yang amat vital, yaitu mengamankan dosis vaksin yang cukup untuk melindungi populasi yang paling rentan, seperti petugas kesehatan dan lansia.
Baca juga: Picu Sebuah Penyakit, Vaksin COVID-19 AstraZeneca Ditangguhkan
“Akses yang sama ke vaksin COVID-19 adalah kunci untuk melawan virus dan membuka jalan untuk pemulihan dari pandemi,” kata Stefan Löfven, Perdana Menteri Swedia.
“Ini tidak bisa menjadi perlombaan dengan beberapa pemenang, dan Fasilitas COVAX adalah bagian penting dari solusi, memastikan semua negara mendapatkan keuntungan dari akses dan distribusi dosis vaksin yang adil dan merata.”
Sampai saat ini setidaknya 172 negara telah bergabung dalam proyek COVAX. WHO meminta negara lain untuk segera bergabung sebelum batas waktunya berakhir (komitmen yang mengikat), yaitu pada 18 September 2020.
Mau tahu lebih jauh mengenai vaksin COVID-19? Atau memiliki keluhan kesehatan di tengah pandemi? Kamu bisa kok bertanya langsung pada dokter melalui aplikasi Halodoc. Tidak perlu keluar rumah, kamu bisa menghubungi dokter ahli kapan saja dan di mana saja. Praktis, kan?