Mitos dan Fakta Seputar Bahaya Bulu Kucing
Halodoc, Jakarta - Kucing merupakan salah satu hewan peliharaan yang menggemaskan. Tingkah lakunya yang lucu kadang membuat kita yang awalnya lelah setelah seharian bekerja menjadi segar kembali. Oleh karena itu, hewan ini menjadi salah satu favorit banyak orang. Namun, di balik kegemasan dan kelucuannya, bahaya bulu kucing bisa saja mengintai kita. Apalagi buat mereka yang memiliki alergi terhadap bulu kucing, berhenti memeliharanya mungkin menjadi pilihan tepat.
Jelas, kita tahu bahwa memiliki hewan peliharaan memiliki banyak manfaat besar. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Pertama, jelas kamu harus mengetahui dulu fakta-fakta seputar bulu kucing sehingga kamu tidak termakan mitos yang selama ini salah. Simak ulasannya dalam artikel ini!
Baca juga: 6 Manfaat Punya Hewan Peliharaan untuk Anak
Inilah Mitos dan Fakta Seputar Bulu Kucing
Kamu pecinta kucing? Sebaiknya ketahui beberapa mitos dan fakta seputar bulu kucing, di sini!
Mitos: Beberapa ras kucing menyebabkan alergi dan hipoalergenik
Fakta: Berita buruknya, kucing bisa menyebabkan alergi pada manusia. Kucing menghasilkan beberapa alergen yang diketahui bereaksi dengan IgE manusia: secretoglobin Fel d1, Fel d2 / albumin, Fel d3, lipocalin Fel d4 dan Fel d5.2 Fel d1 adalah yang paling banyak dikarakterisasi dan dianggap sebagai satu-satunya yang paling kuat alergen kucing. Alergen utamanya adalah Fel d1 yang dapat menginduksi asma dan alergi. Molekul Fel d1 diproduksi di kelenjar sebasea atau kelenjar minyak, saliva, dan anal. Molekul ini terdistribusikan pada bulu kucing dengan cara kucing menjilati tubuh atau bulunya.
Namun, adakah kucing yang tidak menyebabkan alergi? Ilmuwan masih berdebat mengenai hal ini, tetapi menurut Penelitian Satorina dkk yang di publikasikan di jurnal Clinical and Translational Allergy tahun 2014 menyebutkan bahwa kucing hipoallergy adalah kucing yang menghasilkan dan menyebarkan lebih sedikit Fel d1 dibandingkan kucing biasa. Jadi kucing hipoallergenic ini bisa menjadi alternatif bagi orang-orang yang mengalami atopi atau alergi terhadap kucing. Namun, penelitian ini belum bisa mendukung gagasan bahwa ada breed/ ras tertentu yang hypoallergenic.
Mitos: Kucing tanpa bulu, seperti kucing Sphynx, tidak menyebabkan alergi
Fakta: Sayangnya, kucing tanpa bulu seperti kucing Sphynx juga tidak hipoalergenik. Faktanya, tidak ada penelitian ilmiah untuk mendukung gagasan bahwa setiap ras menyebabkan reaksi alergi yang lebih atau kurang parah.
Penelitian lain menunjukkan bahwa kucing siberia yang mendapatkan klaim dari beberapa breeders sebagai hipoalergenik pun masih bisa memicu alergi. Pada penelitian tersebut telah ditemukan dua mutasi yang terdeteksi pada gen Ch1 dan Ch2 yang mengkode alergen Fel d1. Kondisi ini yang memungkinkan mutasi ini relevan dengan alasan mengapa kucing siberia di klain sebagai kucing hipoalergenik. Namun, untuk memastikan kondisi ini masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Mitos: Bulu kucing tidak membahayakan ibu hamil
Fakta: Secara umum, bulu kucing yang sehat tidak membahayakan ibu hamil. Bahaya bulu kucing bisa terjadi jika kucing yang kamu pelihara mengalami infeksi toksoplasmosis. Penyakit ini disebabkan parasit yang disebut Toxoplasma gondii yang terdapat pada feses (kotoran) kucing yang sudah terinfeksi. Sekitar 2–3 minggu setelah terinfeksi, kucing bisa mengeluarkan parasit pada kotorannya. Saat kucing menjilati bulunya, kemungkinan parasit akan tertinggal pada bulu kucing yang kemudian dapat berpindah pada manusia ketika membelainya.
Oleh karena itu, ia bisa membahayakan ibu hamil. Jika parasit ini menginfeksi ibu hamil, maka ia bisa alami gangguan kehamilan seperti keguguran, kelahiran mati, atau toksoplasmosis kongenital yang menimbulkan kerusakan otak, kehilangan pendengaran, dan gangguan penglihatan pada bayi pada saat atau beberapa bulan atau tahun setelah dilahirkan.
Baca juga: Ketahui Komplikasi Akibat Toksoplasmosis
Lakukan Ini untuk Mencegah Bahaya Bulu Kucing
Cara paling aman saat memelihara kucing adalah dengan menjaga kondisi kesehatan hewan peliharaan dan juga kebersihan diri sendiri setelah melakukan kontak dengan hewan. Pastikan untuk selalu cuci tangan dengan sabun antibakteri setelah menyentuh kucing kesayangan, terutama sebelum menyiapkan makanan. Ajarkan juga hal tersebut pada anggota keluarga yang lain. Sebagai tindakan pencegahan lain, hindari lokasi bermain anak-anak yang mungkin terkontaminasi feses kucing.
Selalu periksakan juga kondisi kesehatan kucing ke dokter hewan. Infeksi dapat dideteksi dengan kunjungan rutin ke dokter hewan. Jika kamu atau anggota keluarga memiliki alergi terhadap bulu kucing, tetapi tetap ingin memeliharanya, kamu disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis alergi dan imunologi.
Baca juga: Ini Alasan Hewan Kesayangan Harus Divaksin
Terakhir, pastikan juga agar kucing selalu bersih dan sehat, termasuk bulu dan cakarnya. Kucing senang menggali tanah dengan cakarnya, apabila kamu menemukan kucing melakukan hal tersebut, segera bersihkan kukunya dengan menggunakan sampo khusus. Hindari juga membiarkan kucing menaiki atau tidur di tempat tidur kamu, meskipun ia dalam kondisi bersih. Pencegahan adalah langkah terbaik untuk menghindari bahaya bulu kucing.
Jika dalam proses pemeliharaan kucing kamu mengalami beberapa gejala terkait dengan alergi atau gangguan kesehatan lainnya, tidak ada salahnya segera kunjungi rumah sakit terdekat dan lakukan pemeriksaan. Kamu bisa gunakan Halodoc untuk membuat janji dengan dokter hewan untuk mempermudah pemeriksaan. Yuk, download Halodoc sekarang juga melalui App Store atau Google Play!