Hidup Kembali setelah Dinyatakan Meninggal, Ini Penjelasan Lazarus Syndrome
Halodoc, Jakarta - Beberapa waktu belakangan, media sosial dihebohkan dengan cerita tentang jenazah remaja usia 12 tahun di Probolinggo, Jawa Timur, yang mendadak hidup kembali. Hal itu terjadi ketika jenazah hendak dimandikan. Meski sempat mendapat perawatan medis selama satu jam, ia akhirnya meninggal lagi.
Sebenarnya, fenomena “bangkit” dari kematian ini bukan lagi hal yang asing di dunia medis, meski kasusnya terbilang langka. Kemungkinan penyebabnya selalu sulit ditentukan. Namun, salah satu kondisi yang menjelaskan fenomena ini adalah Lazarus syndrome.
Baca juga: Fenomena Mati Suri, Mitos atau Fakta?
Sedikit Fakta tentang Lazarus Syndrome
Mengutip laman Medical News Today, Lazarus syndrome didefinisikan sebagai kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) yang tertunda setelah CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) dihentikan. Artinya, seseorang yang dinyatakan meninggal setelah detak jantungnya terhenti, kembali mengalami aktivitas jantung yang mendadak.
Nama Lazarus syndrome sebenarnya diambil dari kisah dalam kitab suci, tentang seseorang bernama Lazarus, yang dibangkitkan lagi setelah 4 hari meninggal.
Menurut keterangan dalam laporan yang dipublikasikan pada Journal of The Royal Society of Medicine, kasus Lazarus syndrome pertama kali dilaporkan pada 1982. Hingga kini, tercatat setidaknya 38 kasus Lazarus syndrome yang dilaporkan.
Laporan yang dibuat oleh Vedamurthy Adhiyaman dan rekannya pada 2007 itu mengungkapkan, sekitar 82 persen dari kasus Lazarus syndrome hingga saat ini disebabkan oleh ROSC yang terjadi 10 menit setelah CPR dihentikan. Lalu, 45 persen di antaranya mengalami pemulihan neurologis yang baik.
Apa Penyebab Lazarus Syndrome?
Hingga artikel ini ditulis, belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan terjadinya Lazarus syndrome. Namun, para ahli menduga bahwa sindrom ini terjadi akibat penumpukan tekanan di dada, akibat CPR. Akhirnya, ketika CPR dihentikan, tekanan secara bertahap dilepaskan dan jantung kembali bekerja.
Sementara itu, teori lain menyatakan bahwa Lazarus syndrome kemungkinan terjadi akibat tindakan obat tertunda, yang digunakan sebagai bagian dari upaya resusitasi, seperti adrenalin. Jadi, ada kemungkinan bahwa obat yang disuntikkan melalui vena perifer tidak terpusat karena aliran balik vena yang terganggu. Lalu, ketika aliran balik vena membaik setelah hiperinflasi dinamis, sirkulasi dapat kembali.
Selain itu, masih banyak teori lain yang diusulkan sebagai penyebab dari Lazarus syndrome, seperti hiperkalemia misalnya. Namun, karena kasus Lazarus syndrome masih sangat sedikit yang dilaporkan, cukup sulit untuk mengungkap mekanisme pasti di balik kondisi ini.
Baca juga: Fakta & Mitos yang Perlu Anda Ketahui Seputar Jantung
Lazarus Syndrome Bisa Terjadi karena Kesalahan
Selain mengulik berbagai kemungkinan penyebab Lazarus syndrome, ada juga pendapat menarik bahwa sebenarnya fenomena ini terjadi karena kesalahan dalam menyatakan kematian seseorang.
Jika menengok ke belakang, pada 2014, ada laporan tentang seorang wanita berusia 80 tahun yang telah "dibekukan hidup-hidup" di kamar mayat rumah sakit, setelah salah dinyatakan meninggal.
Lalu, di tahun yang sama, Rumah Sakit New York menuai kontroversi setelah salah menyatakan seorang wanita mati otak akibat overdosis obat. Wanita tersebut terbangun tak lama setelah dibawa ke ruang operasi, untuk dilakukan pengambilan organ.
Lantas, pertanyaannya, bagaimana bisa ada kesalahan dalam menyatakan seseorang telah meninggal? Sebenarnya, dalam medis dikenal dua jenis kematian, yaitu kematian klinis dan biologis. Kematian klinis diartikan sebagai tidak adanya denyut nadi, detak jantung, dan pernapasan, sedangkan kematian biologis diartikan sebagai tidak adanya aktivitas otak.
Meski kelihatannya sederhana, hal ini juga bisa jadi rumit. Sebab, ada beberapa kondisi medis yang membuat seseorang “terlihat” telah meninggal. Seperti hipotermia misalnya, yang terjadi ketika tubuh mengalami penurunan suhu secara tiba-tiba, akibat paparan dingin berkepanjangan. Kondisi ini menyebabkan detak jantung dan pernapasan melambat, bahkan hampir tidak terdeteksi.
Baca juga: Begini yang Terjadi pada Otak ketika Seseorang Alami Koma
Selain hipotermia, ada juga sindrom terkunci atau locked-in syndrome (LIS). Seperti namanya, sindrom ini membuat seseorang sadar akan lingkungannya, tetapi mengalami kelumpuhan total pada otot-otot tubuh.
Jadi, sindrom ini membuat pengidapnya seolah terkunci atau terkubur hidup-hidup, karena bisa berpikir, merasakan, dan mendengar, tetapi sama sekali tidak bisa berkomunikasi atau menggerakkan tubuh.
Bagaimana Tanda-Tanda Kematian secara Medis?
Secara medis, seseorang dinyatakan meninggal, jika:
- Tidak terdeteksi adanya aktivitas pada batang otak. Ciri-cirinya, pupil mata melebar dan tidak bereaksi terhadap cahaya, mata tidak berkedip ketika kornea mata dirangsang, tidak ada refleks muntah ketika tenggorokan dirangsang.
- Tidak berfungsinya organ vital, seperti jantung.
- Terhentinya pernapasan.
- Tidak adanya aktivitas listrik jantung atau jantung tidak berdenyut.
- Tidak adanya respon terhadap rangsangan nyeri, misalnya ketika dicubit.
- Tubuh tampak kaku. Biasanya mulai terlihat sejak 3 jam setelah kematian.
- Suhu tubuh menurun, setidaknya 8 jam setelah kematian.
Kemudian, serangkaian perubahan akan terjadi secara alami. Misalnya, perubahan otot menjadi kaki, munculnya lebam-lebam ungu kebiruan pada berbagai bagian tubuh, munculnya bintik-bintik pada kulit akibat pembuluh darah yang pecah, keluarnya cairan pembusukan dari lubang-lubang tubuh, hingga pembusukan atau dekomposisi.
Selain itu, tanda-tanda kematian dapat juga memiliki ciri khas tersendiri, tergantung penyebab kematiannya. Untuk mengetahui pasti penyebab dan perkiraan waktu kematian, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter spesialis forensik. Kalau ada yang masih bingung dan ingin ditanyakan, kamu bisa download aplikasi Halodoc untuk bertanya pada dokter, kapan dan di mana saja.