Faktor Penyebab Wanita Lebih Rentan Alami Depresi
Halodoc, Jakarta - Tahukah kamu bahwa wanita hampir dua kali lebih mungkin dibandingkan pria untuk mengalami depresi? Mungkin bagi beberapa kalangan ini bukanlah hal yang mengagetkan lagi, dan alasannya bisa terkait faktor biologis dan juga kultural. Depresi ini pun tak mengenal usia, dari mulai wanita menginjak usia remaja hingga lanjut, depresi menjadi salah satu musuh bagi banyak wanita.
Kamu mungkin menganggap bahwa beberapa perubahan suasana hati dan perasaan depresi terjadi akibat perubahan hormon yang normal. Namun, perubahan hormon bukan satu-satunya yang menjadi faktor penyebab depresi pada wanita. Faktor biologis lainnya seperti sifat bawaan, keadaan, dan pengalaman kehidupan pribadi dikaitkan dengan risiko depresi yang lebih tinggi.
Baca juga: Punya Banyak Teman Juga Bisa Sebabkan Depresi
Berikut adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya depresi pada wanita, yaitu:
Pubertas pada Wanita Terjadi Lebih Cepat
Perubahan hormon selama masa pubertas dapat meningkatkan risiko beberapa gadis mengalami depresi. Namun, perubahan suasana hati sementara terkait dengan fluktuasi hormon selama masa pubertas adalah hal yang normal dan kebanyakan tidak menyebabkan depresi.
Namun, pubertas yang dialami seorang gadis sering dikaitkan dengan pengalaman lain yang dapat berperan dalam depresi, seperti:
- Masalah seksualitas dan identitas yang muncul akibat perubahan fisik yang terjadi.
- Konflik dengan orangtua.
- Meningkatnya tekanan di sekolah atau bidang kehidupan lainnya.
Tak hanya itu, depresi akibat pubertas pada wanita juga terjadi karena wanita mengalaminya lebih cepat daripada pria. Alhasil, mereka cenderung mengalami depresi pada usia yang lebih dini daripada anak laki-laki.
Sebagian Wanita Alami Masalah Pramenstruasi
Bagi sebagian besar wanita dengan sindrom pramenstruasi (PMS), gejala-gejala seperti perut kembung, nyeri payudara, sakit kepala, gelisah, mudah tersinggung, dan mengalami kekacauan emosi biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Namun, sejumlah kecil perempuan memiliki gejala yang parah dan bisa mengganggu mereka dalam belajar atau pekerjaan. Jika sudah pada tahap ini, PMS dapat melewati batas menjadi gangguan disforik pramenstruasi (PMDD), yakni sejenis depresi yang umumnya membutuhkan perawatan.
Namun, hubungan yang tepat antara depresi dan PMS masih belum jelas. Mungkin saja perubahan siklus estrogen, progesteron, dan hormon lain dapat mengganggu fungsi bahan kimia otak seperti serotonin yang mengendalikan suasana hati. Sejauh ini para ahli menduga bahwa kondisi ini juga bisa terjadi akibat faktor genetik, pengalaman hidup, dan faktor-faktor lainnya.
Baca juga: Ini 4 Jenis Depresi yang Bisa Dialami Orang Dewasa
Kehamilan
Perubahan hormon yang dramatis terjadi selama kehamilan, dan ini dapat memengaruhi suasana hati. Masalah lain juga dapat meningkatkan risiko mengembangkan depresi selama kehamilan atau selama upaya untuk hamil, seperti:
- Perubahan gaya hidup atau pekerjaan atau penekan kehidupan lainnya.
- Masalah hubungan dengan pasangan, keluarga, atau teman.
- Episode depresi sebelumnya, depresi postpartum atau PMDD.
- Kurangnya dukungan sosial.
- Kehamilan yang tidak diinginkan.
- Keguguran.
- Infertilitas.
- Penghentian penggunaan obat antidepresan.
- Depresi pasca persalinan.
Banyak ibu baru kerap merasa sangat sedih, marah dan mudah tersinggung. Mereka juga kerap menangis setelah melahirkan. Kondisi ini bisa disebut sebagai baby blues, dan cukup umum terjadi selama satu atau dua minggu. Namun, perasaan depresi yang lebih serius atau jangka panjang dapat mengindikasikan depresi pasca persalinan, terutama jika tanda dan gejala termasuk:
- Menangis lebih sering dari biasanya.
- Harga diri rendah atau merasa seperti ia adalah seorang ibu yang buruk.
- Kecemasan atau merasa mati rasa.
- Sulit tidur, bahkan saat bayi sudah tidur.
- Masalah dengan fungsi sehari-hari.
- Ketidakmampuan merawat bayi.
- Muncul pikiran untuk melukai bayi.
- Pikiran untuk bunuh diri.
Depresi pasca persalinan adalah kondisi medis serius yang membutuhkan perawatan segera. Kondisi ini juga terjadi pada sekitar 10 hingga 15 persen wanita. Jika orang terdekatmu mengalami gejala depresi, kamu bisa menghubungi psikolog atau psikiater di Halodoc untuk mendapatkan perawatan awal. Jika dibutuhkan pun, kamu bisa buat janji dengan dokter untuk melakukan terapi psikologis di rumah sakit terdekat.
Perimenopause dan Menopause
Risiko depresi juga dapat meningkat selama transisi menuju menopause, dan suatu tahap yang disebut perimenopause. Ini adalah kondisi saat kadar hormon dapat berfluktuasi tidak menentu. Risiko depresi juga dapat meningkat selama menopause dini atau setelah menopause, tepatnya saat tingkat estrogen berkurang secara signifikan.
Faktor Sosial Lain
Tingginya tingkat depresi pada wanita juga bukan karena faktor biologi saja. Keadaan kehidupan dan tekanan budaya dapat berperan juga. Meskipun stres ini juga terjadi pada pria, mereka biasanya memiliki tingkat yang lebih rendah. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko depresi pada wanita termasuk:
- Ketidaksetaraan kekuatan dan status.
- Beban kerja berlebih, seperti harus mengasuh anak dan bekerja kantoran.
- Lebih sering alami pelecehan seksual atau fisik.
- Gangguan makan.
Baca juga: Sering Lembur Bisa Sebabkan Gangguan Kecemasan?
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan wanita memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Jika kamu membutuhkan saran untuk menghindari stres dan depresi, jangan ragu untuk mendiskusikannya dengan psikolog atau psikiater di Halodoc ya!
Referensi:
Mayo Clinic. Diakses pada 2020. Depression in Women: Understanding the Gender Gap.
The American Institute of Stress. Diakses pada 2020. Why Do Women Suffer More From Depression And Stress?
Very Well Mind. Diakses pada 2020. Why Depression Is More Common in Women Than in Men.
WHO. DIakses pada 2020. Gender and Women's Mental Health.
Berlangganan Artikel Halodoc
Topik Terkini
Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan