Benarkah Kebiasaan Selingkuh Disebabkan oleh Gen dan Hormon?
“Banyak penelitian mencoba membuktikan bahwa kebiasaan selingkuh disebabkan oleh gen dan hormon. Namun, benarkah faktanya seperti itu? Atau selingkuh sebenarnya adalah pilihan?”
Halodoc, Jakarta – Kebiasaan selingkuh sering jadi masalah yang membuat hubungan percintaan retak. Hal ini membuat banyak orang yang diselingkuhi menerka-nerka, apa yang membuat pasangannya selingkuh? Apakah karena kurang mendapat kepuasan seks? Kurang komunikasi? Atau ada faktor lain?
Menariknya, ada penelitian yang mencoba membuktikan bahwa kebiasaan selingkuh terkait oleh faktor genetik dan hormon. Bagaimana bisa ya? Berikut ini penjelasan lengkapnya.
Kaitan Kebiasaan Selingkuh dengan Genetik
Para ilmuwan memiliki firasat bahwa keinginan untuk selingkuh dapat dikaitkan kembali dengan sesuatu yang disebut polimorfisme reseptor dopamin DRD4. Alias gen “pencari sensasi” yang juga disebut sebagai gen yang bertanggung jawab atas alkoholisme dan kecanduan judi.
Dalam sebuah studi pada 2010 yang dilakukan oleh para peneliti di Binghamton University di New York, ditemukan bahwa peserta yang memiliki jenis gen DRD4 tertentu lebih mungkin untuk memiliki kebiasaan selingkuh.
Untuk penelitian mereka, SUNY Doctoral Diversity Fellow dan peneliti utama, Justin Garcia, merekrut 181 orang dewasa muda. Peserta diminta untuk mengisi kuesioner tentang perilaku seksual mereka, serta menyerahkan sampel DNA yang akan diuji untuk menentukan variasi DRD4 dalam DNA mereka.
Menurut temuan tim peneliti yang diterbitkan dalam jurnal PLOS One ini, setiap orang memiliki DRD4. Namun, semakin banyak gen yang dimiliki, semakin besar kemungkinan seseorang untuk mencari sensasi.
Dengan kata lain, orang dengan gen DRD4 yang lebih banyak bisa lebih tertarik pada godaan hal-hal yang mungkin tidak seharusnya dilakukan, misalnya kebiasaan selingkuh. Alasannya karena ingin merasakan “sensasi” yang terkait dengannya.
Juga Dipengaruhi Hormonal?
Mengutip laman Insider, Garcia, salah satu peneliti, mengatakan bahwa semuanya kembali ke pelepasan dopamin, alias hormon bahagia. Manusia secara alami tertarik pada aktivitas yang membuat mereka merasakan kesenangan.
Namun, menurut Garcia, orang yang memiliki gen DRD4 tertentu ini membutuhkan lebih dari rata-rata orang. Mereka membutuhkan lebih banyak rangsangan untuk merasa “kenyang”.
Terkait hormon, beberapa penelitian juga mencoba membuktikan kaitannya dengan kebiasaan selingkuh seseorang. Seperti penelitian pada 2006 di Journal of Personality and Social Psychology, yang dilakukan pada pria.
Studi tersebut menemukan bahwa pria yang memiliki kadar testosteron lebih tinggi, dilaporkan lebih tertarik untuk berhubungan seks di luar hubungan mereka. Dalam hal ini, bisa disebut mereka berpotensi untuk memiliki kebiasaan selingkuh dari pasangannya.
Dari berbagai penelitian yang ada, banyak yang meyakini bahwa kebiasaan selingkuh berkaitan dengan faktor genetik dan hormon. Namun, dapat dikatakan bahwa penelitian lanjut mengenai hal ini masih dibutuhkan.
Para peneliti pun mengakui bahwa bukti ilmiah untuk mendukung klaim-klaim tersebut masih sangat terbatas. Jadi, para ahli menegaskan bahwa asumsi tidak boleh dibuat hanya karena hasil studi tersebut.
Bahkan, jika ada gen tertentu yang memicu seseorang berselingkuh, bukan berarti orang tersebut sudah pasti akan selingkuh. Jika dianalogikan pada orang yang secara genetik memiliki kecenderungan terhadap alkoholisme, hanya sebagian kecil yang menjadi alkoholik.
Sebab, ada banyak faktor lain yang berperan, termasuk lingkungan, keinginan diri, pengalaman hidup, ketahanan terhadap gejolak, dan lain-lain. Hal yang sama berlaku dengan kecenderungan genetik terhadap perselingkuhan.
Pergaulan bebas dan faktor-faktor lain juga bisa berperan. Terlepas dari faktor genetik ataupun hormon, seseorang selalu dapat mempertahankan kehendak bebas dalam hal perilaku seksual.
Jadi, dapat dikatakan bahwa selingkuh lebih tepat dianggap sebagai “pilihan”. Seseorang bisa memiliki kebiasaan berselingkuh karena ia memilih untuk hidup seperti itu, alih-alih setia pada pasangan.
Jika faktor yang memicu perselingkuhan berasal dari buruknya kualitas komunikasi, ini juga masih bisa diperbaiki. Misalnya dengan menjalani konseling hubungan bersama pasangan.
Kalau memang ada keinginan kuat untuk setia dan mempertahankan hubungan, selingkuh seharusnya tidak akan terjadi. Apa pun gen atau hormon yang ada dalam tubuh seseorang.
Oleh karena itu, jika kamu dan pasangan sedang dilanda masalah, cobalah untuk membicarakannya. Jika butuh bantuan ahli, kamu bisa download Halodoc untuk bicara pada psikolog atau psikiater kapan saja.
Referensi:
PLOS ONE. Diakses pada 2022. Associations between Dopamine D4 Receptor Gene Variation with Both Infidelity and Sexual Promiscuity.
Journal of Personality and Social Psychology. Diakses pada 2022. Romantic Involvement Often Reduces Men’s Testosterone Levels—but Not Always: The Moderating Role of Extrapair Sexual Interest.
Psychology Today. Diakses pada 2022. The Biology of Relationship Infidelity.
Insider. Diakses pada 2022. It Turns Out Cheating Might Be Genetic — Here’s What You Need To Know.
Fatherly. Diakses pada 2022. Is the ‘Infidelity Gene’ Real? Probably Not. Cheating is a Choice.
Berlangganan Artikel Halodoc
Topik Terkini
Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan