Australia Rencanakan Membuat Vaksin Corona Non Protein
Halodoc, Jakarta - Demi memutus rantai penyebaran SARS-CoV-2 penyebab pagebluk COVID-19, lebih dari 100 vaksin corona tengah diuji di berbagai belahan dunia. Tahap pengujiannya beragam, ada yang sudah memasuki uji klinis (uji klinis fase I, II, III, atau gabungan), ada pula yang masih melakukan riset di tahap praklinis atau penelitian aktif pada hewan. Satu hal yang pasti, memerlukan proses yang panjang untuk membuat sebuah vaksin.
Nah, dalam mengembangkan vaksin corona ini para ahli menggunakan berbagai teknik. Ada yang menerapkan teknik yang aman dan teruji, tapi ada pula sebagian lainnya belum pernah disetujui untuk penggunaan medis sebelumnya.
Salah satu contohnya teknik yang digunakan dalam membuat vaksin corona adalah vaksin berbasis protein. Vaksin corona jenis ini menggunakan protein virus corona atau fragmen protein untuk memicu respon imun.
Vaksin seperti ini contohnya digunakan pada vaksin HPV (Human papillomavirus). Ada berbagai perusahaan farmasi yang tengah mengembangkan vaksin corona berbasis protein, contohnya Medicago, Doherty Institute, dll.
Namun, ada pakar yang mengembangkan vaksin virus corona berbasis non-protein. Salah satu contoh dan tengah menyita perhatian global adalah perusahaan bioteknologi asal Australia bernama CSL. Perusahaan ini akan membuat vaksin virus corona berbasis non-protein.
Baca juga: Ini 7 Perusahaan Pembuat Vaksin Virus Corona
Memakan Waktu dan Belum Pernah Disetujui
Teknik yang paling umum atau secara tradisional, yaitu vaksin dikembangkan dengan memasukkan protein ke dalam tubuh untuk memicu sistem imun agar memberikan respons.
Nah, vaksin corona yang sukses akan ‘mengajarkan’ sistem kekebalan tubuh untuk membuat antibodi melawan virus tanpa menyebabkan penyakit.
Namun, ada pula teknik atau pendekatan lainnya seperti vaksin berbasis non-protein. Menurut Karen Andrews, Menteri Industri Australia, CSL setidaknya membutuhkan waktu sekitar satu tahun agar bisa membuat vaksin non-protein yang terbukti aman dan efektif.
Menurutnya, pembuatan vaksin berdasarkan pada messenger RNA/mRNA atau asam riibonukleat (pendekatan non-protein), lebih memakan waktu ketimbang mengembangkan vaksin berbasis protein. Menteri Kesehatan Australia, Greg Hunt, pun juga berpendapat senada.
Vaksin mRNA ini sebenarnya masuk ke dalam vaksin genetik. Vaksin genetik terbagi menjadi dua, yaitu vaksin DNA dan RNA. Hal yang perlu ditegaskan, belum ada vaksin DNA dan RNA yang disetujui pada manusia. Namun, para ahli tengah menguji vaksin DNA pada penyakit Zika dan flu, serta RNA pada penyakit MERS.
Baca juga: Ini Tahapan Pengujian dan Perkembangan Global Vaksin Corona
Contoh perusahaan farmasi yang mengembangkan vaksin DNA untuk COVID-19 adalah Inovio. Sedangkan vaksin RNA yaitu Moderna, Pfizer and BioNTech, CureVac. Nah, andaikan vaksin dari salah satu perusahaan farmasi ini disetujui, maka akan menjadi vaksin non-protein pertama.
"Tapi, kita harus benar-benar sadar bahwa ada banyak variabel dalam vaksin. Saat ini, kami belum memiliki vaksin yang terbukti. Kami tidak tahu apa dasar untuk vaksin itu nantinya. Jadi, kami mencoba untuk mempersiapkannya secara luas," kata Andrews.
Juga Pesan dari Luar
Program vaksinasi virus corona untuk seluruh populasi di Australia ditargetkan tersedia sepenuhnya pada akhir 2021. Nah, untuk memenuhi target tersebut, selain membuat vaksin di dalam negeri, Australia telah memesan 33,8 juta unit vaksin yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan AstraZeneca.
Menkes Australia juga mengatakan, CSL juga bertujuan memastikan vaksin yang dikembangkan University of Queensland (UQ) tersedia selama tahun depan, atau sekitar pertengahan tahun. Untuk saat ini, terdapat kontrak untuk 51 juta unit vaksin UQ yang diproduksi di Australia sepanjang 2021.
Dalam memesan vaksin dari luar negeri, pemerintah Australia fokus menyelidiki kandidat vaksin dan bergabung dengan fasilitas pembelian internasional COVAX.
Baca juga: Picu Sebuah Penyakit, Vaksin COVID-19 AstraZeneca Ditangguhkan
COVAX dipimpin oleh berbagai organisasi seperti Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), Gavi, Vaccine Alliance, dan WHO yang bekerja dengan produsen vaksin negara maju dan berkembang. COVAX bertujuan untuk memastikan vaksin COVID-19 tersedia di seluruh dunia, baik di negara berpenghasilan tinggi atau rendah.
Mau tahu lebih jauh mengenai masalah di atas? Atau memiliki keluhan kesehatan lainnya? Kamu bisa bertanya langsung pada dokter melalui aplikasi Halodoc. Tidak perlu keluar rumah, kamu bisa menghubungi dokter ahli kapan saja dan di mana saja. Praktis, kan?