Pria Lompat dari Gedung Transmart, Ini Fakta di Balik Bunuh Diri

Ditinjau oleh  Redaksi Halodoc   25 Februari 2019
Pria Lompat dari Gedung Transmart, Ini Fakta di Balik Bunuh DiriPria Lompat dari Gedung Transmart, Ini Fakta di Balik Bunuh Diri

Halodoc, Jakarta - Tiga hari yang lalu, media massa diramaikan dengan berita seorang pria yang melakukan bunuh diri di sebuah pusat perbelanjaan. Tepatnya korban terjun bebas dari gedung Transmart Lampung, Bandar Lampung. Bahkan, sempat tersebar video detik-detik terakhir aksi tersebut di media sosial.

Hmm, peristiwa nahas ini sebenarnya bukanlah sebuah kasus yang langka. Sebab bila telisik jauh ke belakang, faktanya kasus bunuh diri memang umum terjadi di negara kita. Enggak percaya? Menurut data perkiraan WHO, setidaknya terdapat 10.000 angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada 2012.

Baca juga: Alasan Orang Bunuh Diri Meski Memiliki Hidup yang Terlihat Sempurna

Jangan dulu mengernyitkan dahi setelah melihat angkat tersebut. Masalah ini enggak cuma terjadi di Indonesia saja kok, melainkan juga di belahan bumi sana. Sebab, sekitar 800.000 jiwa tiap tahunnya kehilangan nyawa akibat bunuh diri. WHO memperkirakan kira-kira tiap 40 detik, seseorang di dunia “harus” mengakhiri hidupnya.

Nah, berikut fakta bunuh diri yang perlu diketahui.

Simtom dari Gangguan Psikologis

Coba tebak, apakah penyebab kematian mahasiswa di Amerika Serikat, setelah kecelakaan bermotor, obat-obatan, dan pembunuhan? Lagi-lagi bunuh diri. Diperkirakan terjadi 1.000 kasus bunuh diri, dan 24.000 usaha bunuh diri dilakukan setiap tahunnya di kalangan mahasiswa (18–24 tahun). Caranya bermacam-macam, mulai dari gantung diri, menelan racun, hingga menodongkan senjata api ke dirinya sendiri.

Memang sukar dipercayai, namun pikiran untuk bunuh diri cukup umum ditemukan. Di Amerika Serikat saja, 13 persen orang dewasa melaporkan pernah memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya, dan 4,6 persen mengaku telah berusaha untuk bunuh diri. Untungnya, sebagian besar orang yang memiliki pikiran tersebut tidak melakukannya. Mungkin saja enggak semua orang berani mencabut nyawanya sendiri. Bisa jadi hanya orang dengan karakter dan alasan tertentu yang tak gentar melakukannya. Lalu, apa sih penyebab atau fakta bunuh diri?

Menurut Buku Psikologi Abnormal karya Jeffrey S. David, Spencer A. Rathus, dan Beverly Greene, perilaku bunuh diri bukanlah gangguan psikologis. Tapi, ini sering menjadi simtom dari gangguan psikologis yang mendasarinya, biasanya adalah gangguan mood.

Baca juga: Mahasiswa Punya Hasrat Bunuh Diri Tinggi. Kenapa?

Enggak mengejutkan, usaha bunuh diri lebih mungkin terjadi pada orang dengan depresi mayor selama episode depresi mayor, daripada di antara episode depresi. Singkat kata, menurut data dari National Strategy for Suicide Prevention, sekitar 60 persen orang yang bunuh diri mengalami gangguan mood.

Si Melankolis dan Luka Psikologi

Yang bikin miris dibalik fakta bunuh diri, berdasarkan data dari Center Of Mental Health Service, lebih banyak remaja dan dewasa muda meninggal karena bunuh diri daripada karena kanker, penyakit jantung, AIDS, stroke, dan cacat lahir.

Menyoal bunuh diri, rasanya kita juga perlu menyimak perkataan  Florence Littauer lewat bukunya Personality Plus (1992). Ia menguraikan lebih jauh seperti apa karakter orang yang cenderung mencabut nyawanya sendiri. Ternyata, Si Melankolis lebih sering terlibat dengan fenomena itu ketimbang karakter lainnya.

Tipe ini cenderung tampil serius, hati-hati dalam berteman, dan berusaha mencari teman hidup ideal. Ia juga memiliki sifat tertutup, analitis, dan pesimistis. Orang melankolis juga cenderung tampil serius dan tekun, penuh pertimbangan, dan berpikir secara mendalam.

Di samping itu, depresi seringkali disangkutpautkan dengan bunuh diri atau bahkan diduga menjadi biang keladi dari kasus bunuh diri. Tapi nyatanya, kasus kematian ini tak selalu berkaitan dengan luka psikologi. Sebab, hal ini cenderung lebih pada rasa putus asa. Bunuh diri bukanlah sebuah sesuatu yang direncanakan, karena putus asa dapat dirasakan kapan saja. Nah, putus asa ini sendiri tak selalu disebabkan karena seseorang mengalami gangguan mental.

Baca juga: Kesepian Bisa Menyebabkan Depresi?

Menurut ahli dalam American Psychological Association, orang yang cenderung melakukan hal ini bisa dilihat dari masalah makan dan tidur juga adanya pikiran untuk sakit atau mati. Oleh sebab itu, para psikolog sepakat bahwa bila ada seseorang yang mengeluarkan pernyataan ambigu seperti ingin membunuh dirinya sendiri, sebaiknya kita perlu memberikan perhatian penuh pada mereka.

Perubahan Susunan Saraf Otak

Fakta bunuh diri lainnya bisa ditelisik dari perubahan kimiawi di otak. Menurut Arango dan Mann, pakar bunuh diri dari New York State Psychiatric Institute dalam Biological Psychiatric, menyatakan ada perubahan anatomis di dalam otak.

Kedua ahli tersebut meneliti susunan otak yang meninggal pada waktu yang hampir bersamaan, dan berjenis kelamin sama. Tapi, yang satu tewas karena bunuh diri, sedangkan lainnya meninggal secara normal. Bagaimana hasilnya? Dari penelitian itu, tampak perubahan anatomis dan kimiawi pada dua wilayah otak yang meninggal karena bunuh diri.

Letak tepat perubahan itu terjadi di wilayah orbital prefrontal cortex di atas mata, dan dorsal raphe nucleus di batang otak. Perubahan ini membuat berkurangnya kemampuan otak untuk membuat dan menggunakan serotonin. Padahal, serotonin ini merupakan  neurotransmitter yang berguna untuk membangkitkan rasa bahagia. Nah, faktanya, hormon ini hanya sedikit terdapat pada orang yang impulsif atau sedang mengalami depresi.

Hmm, berbicara bunuh diri memang tak ada habisnya. Selalu banyak fakta-fakta medis, psikologis, dan sosial yang bisa ditemukan di dalamnya. Bahkan, orang-orang yang kehidupannya nyaris terlihat sempurna, juga bisa kok melakukan tindakan nekat ini.

Lihat saja contohnya, Kate Spade dan Inés Zorreguieta. Kate dikenal sebagai businesswoman dan fashion designer papan atas. Sementara Inés adik termuda dari Ratu Belanda. Tapi, akhir hidup kedua wanita itu berujung tragis.

Bunuh diri memang menjadi solusi permanen dari masalah yang temporer. Tapi, percayalah! Masih banyak seribu satu cara untuk mencari jalan keluar di tengah masalah yang sedang kita hadapi. Bukannya berpikir singkat tanpa akal sehat untuk mengakhiri hidup.

Mau tahu lebih jauh mengenai masalah di atas? Kamu bisa kok bertanya langsung pada psikolog melalui aplikasi Halodoc. Lewat fitur Chat dan Voice/Video Call, kamu bisa mengobrol dengan dokter ahli tanpa perlu ke luar rumah. Yuk, download aplikasi Halodoc sekarang juga di App Store dan Google Play!