Pengidap Autisme Lebih Rentan Bunuh Diri, Benarkah?

Ditinjau oleh  Redaksi Halodoc   27 Maret 2019
Pengidap Autisme Lebih Rentan Bunuh Diri, Benarkah?Pengidap Autisme Lebih Rentan Bunuh Diri, Benarkah?

Halodoc, Jakarta – Meski penyakit autisme sudah sering disosialisasikan ke masyarakat banyak, namun kenyataannya masih banyak pengidap autisme di Indonesia yang belum mendapatkan penerimaan dan perlakuan yang menyenangkan dari lingkungan sekitarnya. Para pengidap seringkali dicemooh, bahkan di-bully oleh orang-orang sekitar. Tidak heran bila para pengidap autisme lebih sering mengalami depresi hingga akhirnya rentan bunuh diri. Simak penjelasannya lebih lanjut di sini.

Baca juga: Hari Autis Sedunia, Kenali dan Beri Perhatian Khusus bagi Anak

Sebuah penelitian dari Coventry University mengemukakan bahwa orang yang mengalami autisme lebih berisiko mencoba bunuh diri. Pemicunya adalah adanya perasaan tidak diinginkan yang dirasakan oleh pengidap, sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat, serta anggapan pengidap bahwa dirinya hanya menjadi beban untuk keluarga dan teman.

Sebelumnya, beberapa penelitian sudah mempelajari hubungan antara pengidap autis dan peningkatan risiko bunuh diri. Sebuah studi pada tahun 2015 menemukan bahwa pengidap autisme memang berisiko 10 kali lebih besar meninggal karena bunuh diri dibanding orang-orang pada umumnya. Terutama pada pengidap autisme berjenis kelamin wanita.

Tapi baru-baru ini, sebuah studi menunjukkan bahwa orang yang belum didiagnosa mengidap autisme, namun memiliki karakteristik kelainan tersebut juga berisiko bunuh diri.

Penelitian yang diterbitkan dalam Journal Autism Research meneliti 163 orang yang berusia 18-30 tahun. Mereka diminta untuk mengisi survei online untuk melihat tingkat autisme, depresi, dan perilaku bunuh diri yang ada dalam diri mereka. Karakteristik autisme yang dimaksud meliputi kesulitan untuk bersosialisasi dan komunikasi, perhatian terhadap detail, dan kecenderungan untuk memiliki objek obsesi yang sempit.

Selain itu, peneliti juga memeriksa adanya perasaan pribadi yang mungkin dapat memengaruhi keinginan untuk bunuh diri, seperti perasaan tidak cocok berada di dunia ini atau sering menjadi beban untuk orang lain. Didapati hasil bahwa orang-orang yang memiliki karakteristik autisme tinggi ternyata memiliki perasaan depresi, membebani orang lain, dan tidak cocok berada di dunia, sehingga risiko bunuh dirinya juga menjadi lebih tinggi.

Tidak hanya pada orang dewasa, anak-anak pengidap autisme juga berisiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri. Menurut sebuah studi yang diterbitkan di Journal of American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, anak-anak pengidap autisme yang memiliki masalah dengan komunikasi sosial adalah yang paling mungkin menyimpan pikiran untuk bunuh diri ketika mereka menginjak usia remaja.

Baca juga: Si Kecil Mengidap Autisme, Ibu Harus Apa?

Alasan Pengidap Autisme Bunuh Diri

Perasaan depresi adalah penyebab yang paling umum yang melatarbelakangi pengidap autisme untuk bunuh diri. Pemicu timbulnya perasaan depresi tersebut adalah tekanan atau bullying yang didapat dari orang-orang sekitar.

Seperti yang kita tahu, masih banyak pengidap autisme yang menjadi korban intimidasi, baik di lingkungan sekolah maupun tempat umum. Tindakan intimidasi tersebut, meliputi pandangan meremehkan, cemoohan, bahkan perkataan yang mengejek.

Selain perasaan depresi, perasaan tidak diterima oleh lingkungan juga bisa membuat pengidap autisme berpikir untuk mencoba bunuh diri. Sebagai makhluk sosial, pengidap autisme pun juga ingin diterima, dihargai, dan diperlakukan sama di dalam masyarakat.

Tapi, kesulitan berkomunikasi dan kemampuan yang terbatas terkadang menghambat pengidap untuk bersosialisasi. Di sisi lain, juga ada kesulitan dari orang-orang di sekitar untuk memahami pengidap autisme. Inilah yang akhirnya menyebabkan pengidap autisme frustrasi dan ingin bunuh diri.

Baca juga: Alasan Orang Bunuh Diri Meski Memiliki Hidup yang Terlihat Sempurna

Gejala pengidap autisme untuk bunuh diri sebenarnya seringkali sudah terlihat jelas, namun banyak orang yang salah mengira bahwa gejala tersebut adalah bagian dari gejala autisme. Akibatnya, tingkat bunuh diri pada pengidap autisme terus meningkat. Jadi, amatilah lebih jauh tingkah laku pengidap.

Bila ada perilaku yang tidak seperti biasanya dan mencurigakan, sebaiknya segera bawa pengidap ke psikolog untuk mendapatkan bantuan. Dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat juga sangat dibutuhkan untuk mencegah pengidap mengalami depresi.

Bila kamu bingung menghadapi anggota keluarga yang mengidap autisme atau punya pertanyaan seputar masalah kesehatan mental lainnya, gunakan saja aplikasi Halodoc. Kamu bisa menghubungi dokter untuk curhat atau minta saran kesehatan melalui Video/Voice Call dan Chat kapan saja dan di mana saja. Yuk, download Halodoc sekarang juga di App Store dan Google Play.