Ketahui Pola Asuh Anak yang Tepat agar Tidak Terkena Sindrom Peter Pan
Halodoc, Jakarta - Mungkin kamu masih ingat tokoh cerita anak-anak yang ditulis J.M. Barrie (1860-1937), seorang sastrawan dari Skotlandia, yaitu Peter Pan. Tokoh Peter Pan digambarkan sebagai karakter bocah lelaki nakal yang dapat terbang dan secara magis menolak menjadi dewasa. Kemudian, Dan Kiley (1983) menjadikan Peter Pan yang memiliki watak kekanak-kanakan ini sebagai istilah untuk menyebut sebuah “penyakit” psikologis, yaitu ketika seseorang yang sudah berumur dewasa tetapi tidak mempunyai kematangan psikologis dan sosial secara dewasa.
Salah satu penyebab sindrom Peter Pan ini terjadi akibat pola pengasuhan yang terlalu memanjakan anak. Dengan begitu, anak pun tidak diberikan kebebasan untuk memilih dunianya sendiri. Orangtua yang terlalu memanjakan anak biasanya menjadi protektif berlebihan terhadap anak, serta memiliki kekhawatiran berlebih terhadap anak akan keadaan disekitarnya. Akibatnya, sang anak cenderung bergantung kepada orangtuanya dan tidak memiliki kemampuan bertahan dan memecahkan masalahnya.
Ciri lain anak yang berpotensi memiliki sindrom Peter Pan adalah manja, tidak dapat bertanggung jawab, anti-kritik, pemalas, mudah sakit hati, sulit berkomitmen, dan sejenisnya.
Apabila orangtua ingin menghindari sindrom Peter Pan ini, pola asuh yang benar sejak anak masih kecil harus diterapkan. Misalnya jika anak melakukan kesalahan, sebaiknya orangtua tidak selalu membelanya. Melainkan upayakan untuk menyadarkan anak bahwa ia telah berbuat salah dan ia harus menerima konsekuensi dari kesalahan tersebut. Orangtua juga tidak harus selalu turun tangan dalam setiap masalah anak, melainkan membiasakannya untuk memecahkan masalahnya sendiri agar ia terbiasa menghadapi masalahnya.
Adversity Quotient dan Upaya Menanamkan Kemandirian Anak
Adversity Quotient (AQ) merupakan kecerdasan untuk bertahan dan mengatasi setiap kesulitan hidup melalui perjuangan. Dengan AQ, dapat ditentukan kadar kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah. AQ dapat dimanfaatkan sebagai indikator untuk melihat hal-hal berikut ini:
- Kemampuan bertahan dalam setiap masalah dan cara mengatasinya.
- Keterampilan untuk menerima dan menyelesaikan setiap tantangan.
- Ilmu tentang kesabaran dan ketabahan.
Untuk memberikan gambaran AQ ini, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dia membagi para ‘pendaki gunung’ ini menjadi tiga jenis:
- Quitter (mudah menyerah). Para quitter adalah pekerja yang sekadar bertahan hidup. Mereka gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan saat menerima tantangan.
- Camper (berkemah di tengah perjalanan). Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga udah cukup” adalah motto para campers. Orang-orang ini setidaknya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya, banyak potensi diri yang tidak teraktualisasi, padahal pendakiannya sebenarnya belum selesai.
- Climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber adalah mereka yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko untuk menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.
Berdasarkan tiga terminologi dan penjelasan di atas, para Climber dianggap memiliki AQ tinggi. AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat diberikan, tetapi ternyata dapat dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang dapat diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.
Untuk menanamkan anak dengan karakter ketangguhan seorang climber yang memiliki AQ tinggi, orangtua harus memperhatikan aspek-aspek perkembangan. Misalnya seperti kesehatan fisik, daya tahan mental, kestabilan emosi, kemampuan sosial, keimanan dan ibadah kepada Tuhan, keterampilan. dan seksualitas.
Anak perlu dihadapkan pada kenyataan hidup, bahwa hidup itu tidak sebatas seperti yang ada di dongeng-dongen khayalan yang selalu happy ending. Hidup merupakan perjuangan yang terus-menerus. Karena selama manusia masih hidup, maka ia akan menemui masalah. Selama ia menemui masalah, maka ia punya tanggung jawab untuk sanggup dan mampu menyelesaikan masalah tersebut. Happy ending adalah sebuah hasil dari proses panjang perjuangan, bukan hadiah yang tiba-tiba turun dari langit.
Pola asuh memandirikan anak dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Misalnya ketika anak mendapatkan pekerjaan rumah (PR) dari sekolah. Sesulit apa pun PR tersebut, jangan sampai orangtua ikut mengerjakannya, karena itu dapat membuat anak ketergantungan dan abai dari masalahnya sendiri. Anak cukup dibimbing tentang langkah-langkah atau cara mengerjakan tugasnya tersebut. Dengan begitu, anak akan terbiasa untuk mengerjakan dan bertanggung jawab atas masalahnya sendiri. Anak pun akan terbiasa untuk mandiri dalam menyelesaikan masalah di kehidupan mendatang.
Kamu juga dapat mendiskusikan tentang pola asuh anak agar terhindar dari sindrom Peter Pan dengan dokter melalui aplikasi Halodoc. Diskusi dengan dokter di Halodoc dapat dilakukan via Chat atau Voice/Video Call kapan dan di mana pun. Saran dokter dapat kamu terima dengan praktis dengan download aplikasi Halodoc di Google Play atau App Store sekarang juga.
Baca juga:
- Hati-Hati, Pola Asuh Seperti Ini Bisa Picu Peter Pan Sindrom
- Pria yang Kekanak-kanakan Mungkin Kena Sindrom Peter Pan
- Kenali Sindrom Peter Pan VS Sindrom Cinderella