Autisme
DAFTAR ISI
- Apa Itu Autisme?
- Perbedaan Autisme dan Down Syndrome
- Penyebab Autisme
- Faktor Risiko Autisme
- Ciri-Ciri Anak dengan Autisme
- Hubungi Dokter Ini untuk Perawatan Anak yang Mengidap Autisme
- Diagnosis Autisme
- Penanganan Autisme
- Cara Membangun Komunikasi yang Baik dengan Anak Autisme
- Komplikasi Autisme
Apa itu Autisme?
Autism spectrum disorder (ASD) atau autisme atau autis merupakan gangguan perkembangan saraf. Gangguan ini memengaruhi perkembangan bahasa anak.
Akibatnya, anak kesulitan untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku. ASD juga mencakup sindrom Asperger, sindrom Heller, dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS).
Kelainan ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan kondisi saat otak bekerja dengan cara yang berbeda dari orang lain. Penyandang kelainan ini dapat mengalami kesulitan memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan.
Pengidap autis sulit untuk mengekspresikan diri. Baik dengan kata-kata atau melalui gerak tubuh, ekspresi wajah, dan sentuhan. Selain itu, penyandang juga akan memiliki kendala saat belajar.
Selain itu, keterampilan mereka tidak berkembang baik sepenuhnya. Misalnya, ketika penyandang autis memiliki kesulitan berkomunikasi, mereka bisa pandai dalam seni, musik, memori, hingga matematika.
Lantas, apa itu autisme infantil? Ini istilah masa lalu untuk menggambarkan gangguan spektrum autisme saat ini. Autisme infantil mengacu pada autisme yang terjadi pada masa kanak-kanak.
Perbedaan Autisme dan Down Syndrome
Autisme dan down syndrome sering disama artikan. Padahal, keduanya merupakan kondisi yang berbeda. Salah satu perbedaan utamanya adalah autisme merupakan kelainan spektrum, sedangkan down syndrome merupakan kelainan genetik.
Artinya, meskipun pengidap autisme dapat memiliki berbagai gejala dan kemampuan, pengidap down syndrome biasanya memiliki karakteristik fisik serta intelektual yang serupa.
Ada berbagai pilihan dokter yang dapat membatu merawat anak dengan down syndrome. Baca selengkapnya di artikel ini: Ini Dokter Spesialis Ini Bisa Bantu Perawatan Down Syndrome
Baik autisme maupun sindrom down memiliki gejala yang sama. Keduanya suka menyendiri atau merasa acuh tak acuh terhadap orang lain, terutama orang di luar tempat tinggalnya.
Ini perbedaan keduanya dari segi kemampuan berkomunikasi:
1. Down syndrome
Menggunakan tanda, isyarat, dan simbol untuk berkomunikasi. Meskipun tak banyak berbicara, pengidap dapat berkomunikasi melalui isyarat tangan atau cara lain.
Selain itu, mereka juga dapat meniru orang lain yang mereka kagumi atau orang yang dekat dengan mereka. Dengan meniru, pengidap banyak mendapatkan pengetahuan berkomunikasi.
2. Autisme
Sementara pengidap autis, mereka memiliki sedikit isyarat atau tidak sama sekali. Pada beberapa pengidap, mereka melakukan komunikasi dengan gerakan tubuh berulang.
Mereka juga menunjukkan sikap yang tidak lazim. Misalnya, memperlakukan orang lain seolah-olah mereka bukan makhluk hidup. Perlakukannya kasar dan terkadang melontarkan komentar yang tidak pantas.
Penyebab Autisme
Penyebab autisme masih belum diketahui secara pasti. Namun, para ahli mengidentifikasi adanya beberapa gen yang mungkin memiliki kaitan dengan ASD.
Kadang-kadang gen-gen penyandang autis ini muncul dan bermutasi secara spontan. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, pengidap mungkin mewarisi gen tersebut dari orang tuanya.
Dalam kasus anak kembar, autisme bisa terjadi akibat gen kembar. Misalnya, bila satu anak kembar mengidap kelainan ini, maka kembar yang lain memiliki risiko sebanyak 36-95 persen.
Mereka yang mengidap kelainan ini juga bisa mengalami perubahan di area-area utama otak. Akibatnya, penyakit memengaruhi cara bicara dan perilaku pengidap.
Selain itu, faktor lingkungan juga berperan dalam pengembangan ASD, meskipun dokter belum mengkonfirmasi kebenarannya. Pengidap autis tidak terbentuk dari:
- Pola asuh orang tua yang buruk.
- Penggunaan vaksin, seperti vaksin MMR.
- Konsumsi makanan dan minuman.
- Infeksi yang dapat menular.
- Mutasi genetik yang memengaruhi perkembangan otak dan fungsi saraf.
- Faktor genetik dengan riwayat gangguan spektrum autis.
- Paparan zat kimia berbahaya, polusi udara, serta infeksi selama masa kehamilan.
Faktor Risiko Autisme
Faktor-faktor yang jadi pemicu gangguan, antara lain:
- Jenis kelamin. Anak laki-laki memiliki risiko hingga 4 kali lebih tinggi mengalami kelainan ini ketimbang anak perempuan.
- Faktor keturunan. Orang tua yang mengidap kelainan ini berisiko memiliki anak dengan kelainan yang sama.
- Penularan selama dalam kandungan. Contohnya, efek samping terhadap minuman beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi untuk ibu hamil) selama dalam kandungan.
- Pengaruh gangguan lainnya. Misalnya, sindrom Down, distrofi otot, neurofibromatosis, sindrom Tourette, lumpuh otak (cerebral palsy) serta sindrom Rett.
- Kelahiran prematur. Khususnya bayi yang lahir pada masa kehamilan 26 minggu atau kurang.
Mau tahu lebih jauh mengenai faktor pemicu autisme terkait faktor lingkungan? Baca di artikel ini: “Autisme pada Anak Bisa Terjadi karena Faktor Lingkungan?”
Ciri-Ciri Anak dengan Autisme
Anak autis bisa terlihat dari umur berapa? Di bawah ini ciri-ciri aurisme yang bisa terdeteksi berdasarkan usianya:
1. Gangguan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial
Contoh karakteristik komunikasi sosial dan interaksi sosial yang terkait dengan pengidap autis dapat mencakup:
- Tidak memperhatikan anak-anak lain dan ikut bermain dengan mereka pada usia 36 bulan.
- Tidak berpura-pura menjadi orang lain, seperti guru atau pahlawan super saat bermain pada usia 48 bulan.
- Tak menunjukkan ekspresi wajah, seperti senang, sedih, marah, dan terkejut pada usia 9 bulan.
- Menghindari atau tidak mampu menjaga kontak mata.
- Tidak menoleh saat namanya dipanggil pada usia 9 bulan.
- Tidak memainkan permainan interaktif sederhana pada usia 12 bulan.
- Menggunakan sedikit atau tidak menggunakan gerakan pada usia 12 bulan. Misalnya, tidak melambaikan tangan.
- Tak berbagi minat dengan orang lain pada usia 15 bulan. Misalnya, menunjukkan kepada ibu objek yang mereka sukai.
- Tidak menunjukkan sesuatu yang menarik pada usia 18 bulan.
- Tidak memperhatikan ketika orang lain terluka atau kesal pada usia 24 bulan.
- Tak menyanyi, menari, atau berakting pada usia 60 bulan.
2. Gangguan perilaku atau minat yang terbatas atau berulang.
Contoh perilaku dan minat terbatas atau berulang yang terkait dengan pengidap autis, antara lain:
- Kesal saat bermain permainan yang membutuhkan konsentrasi, seperti menyusun balok-balokan.
- Mengulangi kata atau frasa berulang-ulang ( echolalia).
- Bermain dengan mainan dengan cara yang sama setiap saat.
- Fokus pada satu bagian objek saja. Misalnya, roda.
- Marah saat ada perubahan kecil.
- Memiliki minat obsesif.
- Harus mengikuti rutinitas tertentu.
- Mengepakkan tangan, mengayunkan tubuh, atau berputar dalam bentuk lingkaran.
- Memiliki reaksi yang tidak biasa terhadap suara, bau, rasa, tampilan, atau rasa benda.
3. Karakteristik lain
Kebanyakan pengidap memiliki karakteristik lainnya, seperti:
- Keterampilan bahasa yang tertunda.
- Keterampilan gerakan yang tertunda.
- Perilaku hiperaktif, impulsif, atau lalai.
- Keterampilan kognitif atau belajar yang tertunda.
- Epilepsi atau gangguan kejang.
- Kebiasaan makan dan tidur yang tidak biasa.
- Masalah gastrointestinal. Misalnya, sembelit.
- Suasana hati atau reaksi emosional yang tidak biasa.
- Kecemasan, stres, atau kekhawatiran yang berlebihan.
- Kurangnya rasa takut atau rasa takut berlebihan.
Catat, Ini Ciri-Ciri dan Penyebabnya Autisme Pada Anak.
Hubungi Dokter Ini untuk Perawatan Anak yang Mengidap Autisme
Apabila Si Kecil menunjukkan ciri-ciri dari autisme, seperti gangguan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial, segera hubungi dokter di Halodoc untuk mendapat saran perawatan dan penanganan yang tepat.
Kamu bisa menghubungi psikiater anak, dokter anak, dan dokter spesialis saraf.
Dokter di Halodoc telah berpengalaman serta mendapatkan penilaian baik dari pasien yang sebelumnya mereka tangani.
Berikut dokter di Halodoc yang bisa ibu hubungi:
- dr. Mariati Sp.KJ
- dr. Sarah Endang S. Siahaan Sp.KJ
- dr. Erlin Sp.A
- dr. Dandung Bawono Sp.A, M.Sc
- dr. Ni Nyoman Ayu Susilawati Sp.S
Itulah beberapa dokter yang bisa ibu atau ayah hubungi untuk bantu perawatan jika Si Kecil mengidap autisme.
Jangan ragu untuk segera menghubungi dokter agar Si Kecil mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Dokter tersebut tersedia selama 24 jam di Halodoc sehingga ibu bisa lakukan konsultasi dari mana saja dan kapan saja.
Namun, jika dokter sedang tidak tersedia atau offline, ibu tetap bisa membuat janji konsultasi melalui aplikasi Halodoc.
Tunggu apalagi? Ayo, pakai Halodoc sekarang juga!
Diagnosis Autisme
Mendiagnosis gangguan spektrum autisme (ASD) merupakan hal yang sulit, karena tidak ada tes medis, seperti tes darah, untuk mendiagnosis gangguan tersebut.
Dokter melihat riwayat perkembangan dan perilaku anak untuk membuat diagnosis. Gangguan biasanya sudah dapat terdeteksi pada usia 18 bulan atau lebih muda.
Pada usia 2 tahun, diagnosis sudah bisa dipastikan. Meski begitu, banyak pengidap yang tidak terdiagnosis sampai mereka remaja atau dewasa. Hal ini terjadi karena mereka tidak mendapatkan bantuan awal yang mereka perlukan.
Mendiagnosis pengidap autis sedini mungkin penting untuk memastikan pengidap menerima layanan dan dukungan yang mereka butuhkan. Tujuannya untuk mencapai potensi penuh dalam diri.
Baca juga: Pentingnya Deteksi Dini Autisme pada Anak
Diagnosis biasanya membutuhkan 2 langkah, berikut adalah penjabarannya:
1. Skrining perkembangan
Langkah ini bertujuan untuk memberi tahu dokter apakah anak dapat mengikuti keterampilan dasar seperti belajar, berbicara, perilaku, dan bergerak sesuai usianya.
Sebaiknya anak-anak menjalani skrining keterlambatan perkembangan pada usia 9, 18, dan 24 atau 30 bulan. Nantinya, pengidap akan melakukan pemeriksaan khusus pada usia 18 dan 24 bulan.
2. Evaluasi lanjutan
Jika anak menunjukkan tanda-tanda masalah pada pemeriksaan, mereka memerlukan evaluasi yang lebih lengkap. Metode ini termasuk tes pendengaran dan penglihatan atau tes genetik.
Dokter juga akan mengajak spesialis yang berpengalaman dalam menangani gangguan autisme. Misalnya, dokter spesialis anak atau psikolog anak. Beberapa psikolog juga dapat memberikan tes Autism Diagnostic Observation Schedule (ADOS).
Cari tahu pentingnya diagnosis dini pada pengidap autis: Pentingnya Deteksi Dini Autisme pada Anak
Apakah Autisme Bisa Sembuh?
Autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan. Namun, dengan intervensi yang tepat dan terkoordinasi, pengidapnya dapat mengalami kemajuan kualitas hidup.
Meskipun tidak ada jaminan bahwa gejala autisme sepenuhnya akan menghilang, banyak pengidap mengembangkan strategi adaptif dan belajar mengelola tantangan. Tujuannya untuk meningkatkan fungsi kehidupan sehari-hari.
Mau tahu seperti apa perkembangan remaja dari tahun ke tahun? Baca di artikel ini: “Tahapan Perkembangan Remaja Usia 10-18 Tahun yang Perlu Diketahui”.
Penanganan Autisme
Tidak ada penanganan autisme untuk menyembuhkan penyakit. Namun, ada berbagai tata laksana untuk membantu pengidapnya agar mereka dapat menyesuaikan diri, dan mampu mengembangkan potensi dalam diri.
Tindakan penanganan pada setiap penyandang autisme bisa berbeda-beda. Penanganan yang dokter berikan pada pengidap umumnya berupa terapi.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak dengan autisme membutuhkan konsultasi ahli dari berbagai disiplin ilmu. Meski tak semua pengidap memerlukan terapi obat, tetapi mereka membutuhkan intervensi non-obat.
Langkah tersebut berupa sekolah dan pembinaan kemampuan mandiri dan kemampuan bekerja. Langkah ini dilakukan oleh dokter saraf anak dan dokter rehabilitasi yang bekerjasama dengan terapis.
Penentuan intervensinya akan ditentukan berdasarkan usia, intensitas gejala, dan kemampuan intelektual pengidap. Berikut adalah beberapa pilihan metode terapi umum untuk pengidap:
1. Terapi perilaku dan komunikasi
Terapi ini akan memberikan sejumlah pengajaran pada pengidap, termasuk kemampuan dasar sehari-hari, baik verbal maupun nonverbal. Berikut adalah beberapa jenis contoh dari terapi perilaku dan komunikasi:
- Analisis perilaku terapan (ABA), untuk meningkatkan perilaku positif dan mencegah perilaku negatif.
- Terapi okupasi, yang bertujuan untuk membantu keterampilan hidup seperti berpakaian, makan, dan berhubungan dengan orang lain.
- Terapi wicara, untuk meningkatkan keterampilan komunikasi penyandang kelainan ini.
- Kelompok keterampilan sosial, untuk melatih keterampilan sosial dalam lingkungan yang terstruktur.
- Terapi integrasi sensorik, guna membantu seseorang yang memiliki masalah dengan sentuhan atau pemandangan atau suara.
- Relationship development intervention (RDI) melibatkan aktivitas yang meningkatkan motivasi, minat, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial bersama.
2. Terapi keluarga
Terapi ini bertujuan untuk orang tua dan keluarga pengidap autisme. Tujuannya adalah agar keluarga bisa belajar cara berinteraksi dengan pengidap dan juga mengajarkan pengidap berbicara serta berperilaku normal.
3. Pemberian obat-obatan
Langkah ini bertujuan untuk mengendalikan gejala. Tergantung dari tanda yang terjadi pada Si Kecil, dokter akan merekomendasikan beberapa jenis obat, contohnya:
- Melatonin untuk mengatasi masalah tidur.
- Obat antikejang untuk mengatasi kejang.
- Obat antipsikotik untuk mengatasi masalah perilaku.
- Antidepresan untuk meredakan depresi.
Cara Membangun Komunikasi yang Baik dengan Anak Autisme
Ada beberapa cara membangun komunikasi yang baik dengan anak autisme, antara lain:
- Gunakan kalimat yang pendek dan jelas, hindari penggunaan kalimat kompleks atau ambigu.
- Berbicara dengan tenang dan sabar, berikan jeda yang cukup antara pertanyaan atau pernyataan.
- Gunakan gambar, kartu, atau papan pesan untuk membantu anak memahami instruksi atau konsep yang sedang dibicarakan.
- Temukan minat atau topik yang menarik bagi anak dan gunakan itu sebagai titik awal dalam berkomunikasi.
- Gunakan metode komunikasi alternatif, seperti gambar, isyarat, atau teknologi.
- Hindari kebisingan berlebihan, cahaya yang terlalu terang, atau situasi yang terlalu ramai karena bisa mengganggu konsentrasi.
- Gunakan kalimat yang sama atau pertanyaan yang terstruktur untuk membantu mereka memahami dan merespons dengan baik.
- Pakai bahasa tubuh dan ekspresi wajah untuk memperkuat pesan dalam komunikasi.
Cara Mencegah Autisme
Hingga saat ini belum ada cara tepat untuk mencegah kelainan. Maka dari itu, langkah awal yang harus orang tua ambil apabila Si Kecil menunjukkan gejala kelainan ini, adalah dengan segera melakukan konsultasi pada dokter.
Sebab, penanganan yang sedini mungkin dapat membantu mereka memiliki kehidupan yang lebih layak. Dengan begitu, mereka bisa beraktivitas seperti orang normal lainnya.
Meski begitu, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir gangguan, seperti:
1. Melakukan perawatan kehamilan rutin
Pastikan memiliki perawatan prenatal yang baik dan minum semua vitamin serta suplemen yang direkomendasikan.
2. Berkonsultasi pada dokter sebelum minum obat
Tanyakan kepada dokter sebelum minum obat apa pun. Terutama untuk obat antikejang.
3. Menghindari konsumsi alkohol
Penelitian Prenatal alcohol exposure in relation to autism spectrum disorder: Findings from the Study to Explore Early Development (SEED) yang terbit pada Paediatric and Perinatal Epidemiology menilai hubungan antara penggunaan alkohol pada ibu, dan autism spectrum disorder (ASD) untuk menjelajahi perkembangan dini.
Analisisnya mencakup 684 anak dengan ASD yang dikonfirmasi oleh dokter, 869 anak-anak dengan keterlambatan atau gangguan perkembangan non-ASD (DDs), dan 962 anak dari populasi umum.
Studi kasus kontrol tersebut dilakukan kepada anak-anak yang lahir September 2003 – Agustus 2006 di Amerika Serikat (AS).
Hasilnya, ibu yang mengandung anak-anak tersebut ternyata terpapar alkohol setiap bulan, dari tiga bulan sebelum konsepsi hingga persalinan.
Namun, hanya sedikit penelitian yang meneliti hubungannya dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Dengan kata lain, penelitian lebih lanjut masih diperlukan guna memastikannya.
4. Mencari pengobatan yang tepat
Segera periksakan diri jika telah didiagnosis mengidap penyakit celiac. Ikuti saran dokter untuk mengendalikannya.
5. Mendapatkan vaksinasi
Pastikan mendapatkan vaksin campak Jerman (rubella) sebelum kehamilan. Prosedur dapat mencegah autisme terkait rubella.
6. Hindari paparan zat berbahaya
Hindari paparan janin terhadap zat berbahaya seperti merkuri, timbal, atau bahan kimia beracun selama kehamilan. Termasuk asap rokok dan alkohol.
7. Melakukan pemeriksaan secara berkala
Pemeriksaan kehamilan yang teratur membantu memastikan kesehatan ibu dan janin. Langkah ini juga dapat mendeteksi gangguan yang mungkin berkontribusi pada risiko autisme.
8. Pemberian ASI eksklusif
Pemberian ASI selama enam bulan pertama kehidupan bayi dapat memberikan perlindungan terhadap berbagai masalah kesehatan. Termasuk meminimalisir risiko autisme.
9. Menerapkan pola hidup sehat
Studi How nutritional status, diet and dietary supplements can affect autism. A review, yang terbit pada Annals of the National Institute of Hygiene mengatakan bahwa, spektrum gangguan autisme ditandai dengan gangguan interaksi sosial dan komunikasi, serta minat dan perilaku yang terbatas dan berulang.
Saat ini, di Polandia, ada sekitar 50.000 orang mengidap autisme dan ⅕ di antaranya adalah anak-anak. Studi epidemiologi menunjukkan kasusnya meningkat dan mungkin terjadi akibat perkembangan kategori diagnostik spektrum gangguan autisme.
Penelitian juga menyebutkan, diagnosis dini dalam pengobatan autisme dapat membantu meningkatkan kualitas kesehatan pasien lebih cepat. Salah satu langkah intervensinya adalah melengkapi asupan asam lemak omega-3, probiotik, vitamin, dan mineral selama masa kehamilan.
Komplikasi Autisme
Pengidap autis yang tidak ditangani bisa mengalami masalah dengan interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku. Kondisi tersebut dapat memicu komplikasi pada aspek sosial penyandang, seperti:
- Masalah di sekolah dan keberhasilan pembelajaran.
- Masalah ketenagakerjaan.
- Ketidakmampuan untuk hidup mandiri.
- Isolasi sosial.
- Stres dalam keluarga.
- Menjadi korban dan diintimidasi.
- Sensitif dan cepat marah.
- Tidak dapat merespons panas, dingin, atau rasa nyeri.
- Kejang-kejang atau epilepsi.
- Gangguan pada pencernaan.
- Kesulitan untuk tidur.
- Terkena masalah mental lain, seperti stres, depresi, cemas, dan perilaku impulsif.
Kapan Harus ke Dokter?
Jika Si Kecil mengalami tanda dan gejala autisme, segera hubungi dokter anak lewat Halodoc. Pemeriksaan dan penanganan yang perlu segera kamu lakukan untuk meminimalkan risiko komplikasi serius.
Selain itu, perawatan penyandang autisme melalui serangkaian terapi tentunya dapat mengurangi risiko terhambatnya aktivitas dan produktivitasnya.
Agar lebih mudah komunikasi dengan dokter anak, kamu bisa klik gambar di bawah ini: