Trauma Bisa Sebabkan Orang Kena Serangan Panik
Halodoc, Jakarta – Serangan panik merupakan kondisi yang ditandai dengan munculnya rasa takut atau gelisah berlebihan, secara tiba-tiba. Ketika mengalami serangan ini, pengidapnya dapat mengalami serangan kegelisahan, seperti meningkatnya detak jantung, napas menjadi pendek, pusing, otot menegang, dan gemetar. Serangan ini dapat berlangsung selama beberapa menit hingga jam.
Ketika seseorang mengalami serangan panik, otak memerintahkan sistem saraf untuk menimbulkan respons melawan atau menghindar. Akibatnya, tubuh kemudian akan menghasilkan zat kimia yang disebut adrenalin, yang memicu peningkatan detak jantung, frekuensi napas, dan aliran darah ke otot. Kondisi ini sebenarnya muncul dalam rangka mempersiapkan tubuh untuk melawan atau menghindar dari situasi tertekan.
Baca juga: Sering Mudah Panik? Bisa Jadi Serangan Panik
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami serangan panik. Salah satunya adalah trauma atau pengalaman di masa lalu yang membuat diri sangat tertekan. Selain trauma, beberapa faktor lain yang juga dapat tingkatkan risiko adalah:
- Stres.
- Perubahan suasana secara tiba-tiba, misalnya masuk ke lingkungan yang ramai dan penuh sesak.
- Faktor genetik atau memiliki keluarga dengan riwayat serangan panik.
- Konsumsi kafein, alkohol, dan NAPZA.
Gejala yang Menyertai Serangan Panik
Berikut ini beberapa gejala yang dapat menyertai serangan panik:
- Berkeringat secara berlebihan.
- Merasa gelisah atau berpikir secara irasional.
- Mulut terasa kering.
- Otot menjadi tegang.
- Merasa sangat takut.
- Gemetar.
- Sesak napas.
- Detak jantung meningkat.
- Kram perut.
- Nyeri dada.
- Mual.
- Pusing atau pingsan.
Seperti disebutkan di awal, serangan panik dapat berlangsung selama 5 hingga 10 menit, tetapi bisa juga terjadi secara berkesinambungan dalam waktu dua jam. Setelah mengalami serangan panik, pengidapnya akan mengalami kelelahan. Tak hanya itu, serangan ini juga menyisakan rasa takut akan terjadinya serangan kembali, hingga membuat pengidapnya menghindar dari situasi yang dapat memicu serangan panik.
Baca juga: Gejala dari Serangan Panik yang Selama Ini Diabaikan
Jika kamu mengalami gejala seperti yang telah disebutkan tadi, jangan ragu untuk membicarakannya dengan psikolog atau psikiater, ya. Diskusi dengan psikolog atau psikiater juga bisa dilakukan di aplikasi Halodoc, lewat fitur Chat atau Voice/Video Call. Namun, jika ingin melakukan pemeriksaan langsung, kamu juga bisa buat janji dengan dokter di rumah sakit melalui aplikasi Halodoc, lho. Jadi, pastikan kamu sudah download aplikasinya di ponselmu, ya.
Bagaimana Penanganan Serangan Panik?
Penanganan serangan panik bertujuan untuk mengurangi intensitas dan frekuensi sarangan guna meningkatkan kualitas hidup pengidapnya, yaitu dengan pemberian obat dan dengan psikoterapi. Kedua penanganan itu dapat dilakukan secara bersamaan atau hanya satu saja yang tergantung dari kondisi dan tingkat keparahan yang dialami. Berikut ini dijabarkan satu persatu:
1. Obat-Obatan
Serangan panik yang hanya terjadi sesekali umumnya tidak membutuhkan penanganan. Namun, jika terus berulang (gangguan panik), psikiater akan meresepkan obat guna mencegah kemunculannya. Obat yang diresepkan adalah obat penenang, seperti:
- Fluoxetine.
- Sertraline.
- Venlafaxine.
- Alprazolam.
- Clonazepam.
Baca juga: Inilah Bedanya Gejala Serangan Panik, Manik, dan Psikosis
2. Terapi
Jenis terapi yang diterapkan untuk mengobati pengidap serangan panik adalah terapi perilaku kognitif. Pada terapi ini, pengidap akan dibimbing untuk memahami dan meyakini bahwa serangan panik tidak membahayakan. Pengidap juga akan diajari cara mengubah respons perasaan dan perilaku terhadap pola pikiran negatif, sehingga nantinya membantu mereka dalam mengatasi serangan panik secara mandiri. Dengan kata lain, pengidap diajari untuk mengatasi rasa takut terhadap situasi yang membuat mereka panik.