Siapa Saja yang Berisiko Mengalami PMDD?
Halodoc, Jakarta - Gangguan disforik pramenstruasi (PMDD) adalah perpanjangan sindrom pramenstruasi (PMS) yang parah, bahkan bisa sangat mengganggu aktivitas pengidapnya. Meskipun PMS dan PMDD biasa memiliki gejala fisik dan emosional, PMDD menyebabkan perubahan suasana hati yang ekstrim yang dapat mengganggu pekerjaan dan merusak kualitas hubungan pengidapnya.
Gangguan disforik pramenstruasi dilaporkan bisa memengaruhi hingga 5 persen wanita usia subur. Wanita yang sudah mengalami gangguan kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi juga berisiko mengidap kondisi ini
Baca juga: Ini yang Membedakan Gangguan Disforik Pramenstruasi dan PMS
Penyebab PMDD dan Faktor Risiko
Sayangnya, para ahli belum mengetahui penyebab pasti dari gangguan disforik pramenstruasi. Kebanyakan orang mengira bahwa kondisi ini sebagai reaksi abnormal terhadap perubahan hormon yang terkait dengan siklus menstruasi.
Penelitian juga telah menunjukkan hubungan antara PMDD dan kadar serotonin yang rendah, yakni zat kimia di otak yang membantu mengirimkan sinyal saraf. Sel otak tertentu yang menggunakan serotonin juga mengontrol suasana hati, perhatian, tidur, dan nyeri. Perubahan hormonal ini kemudian dapat menyebabkan penurunan serotonin, yang menyebabkan gejala PMDD.
Kerentanan genetik kemungkinan besar berkontribusi pada kondisi ini. Faktor risiko lain untuk mengembangkan PMDD termasuk stres, kelebihan berat badan atau obesitas, dan riwayat trauma atau pelecehan seksual di masa lalu.
Baca juga: 5 Makanan Pereda Nyeri PMS
Bagaimana PMDD Didiagnosis?
Tantangan utama dalam mendiagnosis PMDD adalah membedakan antara gejala pramenstruasi ringan, yang mungkin mengganggu tetapi tidak melumpuhkan, dan gejala yang cukup parah untuk mengganggu kehidupan sehari-hari. Ada beberapa kriteria yang diusulkan untuk gangguan dysphoric pramenstruasi (PMDD) untuk memudahkan diagnosis. Beberapa kriteria tersebut, antara lain:
- Depresi.
- Kecemasan atau ketegangan.
- Perubahan suasana hati yang tiba-tiba.
- Lekas marah.
- Kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari.
- Kesulitan berkonsentrasi.
- Energi berkurang.
- Mengidam makanan dan perubahan nafsu makan.
- Insomnia atau sering mengantuk.
- Gejala fisik, seperti payudara nyeri atau kembung.
- Gejala yang mengganggu aktivitas, pekerjaan, sekolah, atau hubungan.
Dokter juga akan menanyakan riwayat kesehatan dan melakukan pemeriksaan fisik terkait hal ini. Kamu perlu membuat kalender atau buku harian tentang gejala untuk membantu dokter mendiagnosis PMDD.
Segera diskusikan dengan dokter jika kamu mengalami kondisi tersebut. Kamu bisa menggunakan aplikasi di Halodoc untuk terhubung dengan dokter, kapan dan di mana saja.
Baca juga: Kenali Siklus Menstruasi yang Tidak Normal di Usia 40-an
Bagaimana PMDD Diobati?
Perawatan PMDD diarahkan untuk mencegah atau meminimalkan gejala. Beberapa pengobatan tersebut antara lain:
- Antidepresan. Penghambat reuptake serotonin selektif (SSRI), seperti fluoxetine (Prozac, Sarafem, lainnya) dan sertraline (Zoloft), dapat mengurangi gejala seperti gejala emosional, kelelahan, mengidam makanan, dan masalah tidur. Kamu dapat mengurangi gejala PMDD dengan mengonsumsi SSRI sepanjang bulan atau hanya dalam interval antara ovulasi dan awal menstruasi.
- Suplemen Nutrisi. Mengkonsumsi 1.200 miligram makanan dan kalsium tambahan setiap hari mungkin dapat mengurangi gejala PMS dan PMDD pada beberapa wanita. Vitamin B-6, magnesium dan L-triptofan juga dapat membantu, tetapi konsultasikan dengan dokter untuk meminta nasihat sebelum mengonsumsi suplemen apa pun.
- Pengobatan Herbal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa chasteberry (Vitex agnus-castus) mungkin dapat mengurangi iritabilitas, perubahan suasana hati, nyeri payudara, pembengkakan, kram dan mengidam makanan yang terkait dengan PMDD. Namun, penelitian ini perlu ditelaah lebih jauh lagi. Pastikan kamu sudah mendapat persetujuan dokter saat hendak mengonsumsi obat herbal.
- Mengubah Pola Makan dan Gaya Hidup. Olahraga teratur sering kali mengurangi gejala pramenstruasi. Mengurangi kafein, menghindari alkohol, dan berhenti merokok juga dapat meredakan gejala. Tidur yang cukup dan menggunakan teknik relaksasi, seperti mindfulness, meditasi, dan yoga, juga dapat membantu. Hindari pemicu stres emosional, seperti pertengkaran tentang masalah keuangan atau masalah hubungan, jika memungkinkan.