Kenali Perbedaan Trombositosis Esensial dan Trombositosis Reaktif
Halodoc, Jakarta - Trombositosis merupakan istilah yang menggambarkan tingginya kadar trombosit dalam darah. Trombosit atau platelet merupakan sel darah yang berperan dalam proses pembekuan darah dengan saling menempel untuk membentuk bekuan darah. Jika jumlahnya terlalu banyak, risiko penyumbatan pembuluh darah akan lebih tinggi. Trombositosis terbagi menjadi dua jenis, yaitu trombositosis esensial dan reaktif. Ini perbedaan keduanya!
Baca juga: 5 Kelainan Darah yang Terkait dengan Trombosit
Trombositosis Esensial dan Trombositosis Reaktif, Apa Perbedaannya?
Trombositosis terdiri dari dua jenis, yaitu:
-
Trombositosis esensial atau trombositosis primer.
-
Trombositosis reaktif atau trombositosis sekunder.
Dari kedua jenis tersebut, trombositosis esensial lebih sering terjadi dibandingkan dengan trombositosis reaktif. Pengidap kondisi tersebut biasanya tidak menimbulkan tanda atau gejala, kecuali mereka menjalani pemeriksaan darah lengkap. Meski jarang menimbulkan gejala, pengidap trombositosis esensial biasanya akan mengalami gejala yang lebih serius dibanding dengan pengidap trombositosis reaktif. Gejalanya sendiri akan meliputi:
-
Mengalami sakit kepala.
-
Mengalami rasa sakit pada dada.
-
Mengalami mati rasa atau kesemutan pada tangan atau kaki.
-
Mengalami perdarahan.
-
Mudah merasa lelah.
Untuk lebih jelas mengenai perbedaan keduanya dan gejala apa saja yang tampak, silahkan diskusikan langsung dengan dokter di aplikasi Halodoc, ya! Jangan lupa untuk selalu menerapkan pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan sehat bergizi seimbang, rutin berolahraga, serta kelola stres dengan baik untuk menghindari sejumlah penyakit berbahaya.
Baca juga: 7 Ciri Tingginya Jumlah Trombosit Dalam Darah
Penyebab dari Trombositosis Esensial dan Reaktif
Trombositosis primer, atau yang dikenal dengan trombositosis esensial, merupakan kondisi yang terjadi karena adanya kelainan pada sumsum tulang belakang yang menyebabkan produksi trombosit menjadi berlebihan. Selain produksinya yang berlebihan, trombosit juga memiliki bentuk yang tidak normal, sehingga darah dapat menggumpal dengan sendirinya tanpa alasan yang jelas.
Sedangkan trombositosis sekunder, atau yang dikenal dengan trombositosis esensial merupakan penyakit yang muncul karena dipicu oleh sejumlah kondisi, seperti:
-
Mengalami pendarahan akut.
-
Mengidap kanker.
-
Mengidap infeksi virus atau bakteri.
-
Mengidap anemia defisiensi besi.
-
Pernah menjalani prosedur pengangkatan limpa.
-
Mengidap anemia hemolitik, yaitu penyakit kurang darah akibat penghancuran sel darah merah lebih cepat dibandingkan dengan proses pembentukannya.
-
Mengidap inflammatory bowel disease atau radang usus, yaitu penyakit yang ditandai dengan adanya iritasi atau luka pada organ usus.
-
Mengidap rheumatoid arthritis, yaitu peradangan sendi yang terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang jaringannya sendiri.
-
Mengidap sarkoidosis, yaitu kondisi saat sel tubuh mengalami peradangan, yang menyebabkan terbentuknya granuloma, yaitu sel-sel radang yang menumpuk.
-
Efek samping dari prosedur pembedahan.
-
Respon tubuh terhadap aktivitas fisik.
Meskipun pengidap trombositosis reaktif memiliki kadar trombosit yang tinggi, trombosit dalam tubuh pengidap dalam kadar yang normal. Hal tersebut yang membuat pengidap trombositosis sekunder memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami penggumpalan darah atau perdarahan saat terjadi luka.
Baca juga: Trombositosis Bisa Sebabkan Pembesaran Limpa, Ini Penyebabnya
Pengobatan Diberikan Sesuai dengan Jenis Trombositosis
Untuk pengidap trombositosis esensial, pengobatan tidak diperlukan jika pengidap berada dalam kondisi stabil dan tanpa gejala. Namun, pengobatan akan diperlukan jika pengidap berisiko mengalami penggumpalan darah dengan mengonsumsi obat pengencer darah. Pemberian obat harus sesuai dengan resep dokter tentunya.
Sedangkan pada pengidap trombositosis reaktif, pengobatan diberikan berdasarkan pemicunya. Jika pengidap mengalami perdarahan karena prosedur pembedahan atau cedera, trombositosis biasanya akan hilang dengan sendirinya. Namun, saat pengidap memiliki infeksi kronis atau peradangan, pengobatan baru akan dilakukan sampai kondisi penyakit sudah dapat dikendalikan.