Dampak Jangka Panjang COVID-19 Meski Telah Sembuh
Halodoc, Jakarta - Vaksin corona kini telah resmi digunakan. Setelah tenaga medis, target selanjutnya adalah lansia dan tenaga pendidik. Meski begitu, angka penularan tetap terbilang tinggi sehingga pemerintah pun terus menggalakkan protokol kesehatan pada masyarakat, terlebih yang harus beraktivitas di luar rumah.
Guna mendeteksi apakah kamu terinfeksi virus corona atau tidak, kamu harus melakukan pemeriksaan swab antigen atau PCR. Keduanya memiliki hasil yang akurat. Jika hasilnya positif tetapi kamu memiliki gejala, kamu akan diarahkan untuk segera mendapatkan penanganan. Jika tidak ada gejala, kamu harus melakukan isolasi mandiri di rumah dan tetap melakukan protokol kesehatan 5M sampai hasil swab negatif.
Namun, sering terjadi, orang-orang yang telah melakukan isolasi mandiri selama 10 hari, bahkan lebih dan menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin masih menunjukkan hasil swab positif. Sebenarnya, mengapa hal ini bisa terjadi? Berikut ulasannya!
Baca juga: Long Covid, Efek Jangka Panjang bagi Penyintas Corona
Sudah Isoman, Mengapa Hasil Swab Masih Positif?
Ternyata, tes PCR yang menunjukkan hasil positif tidak selalu berarti virus Corona di tubuh pengidap masih aktif. Bukan tidak mungkin pemeriksaan PCR mendeteksi virus yang sebenarnya sudah tidak aktif atau mati, karena imunitas tubuh yang sudah bisa mengendalikannya.
Kekebalan tubuh atau antibodi terhadap virus corona umumnya mulai terbentuk sekitar 5 sampai 10 hari setelah infeksi terjadi. Artinya, risiko terjadinya penularan dari pengidap yang telah menjalani isolasi mandiri selama setidaknya 10 hari akan sangat kecil, meski hasil pemeriksaan PCR-nya masih positif.
Akan tetapi, jika setelah melakukan isolasi mandiri pengidap bertemu orang-orang yang rentan tertular virus corona, seperti lansia atau orang dengan penyakit bawaan, lebih baik tes PCR terap dilakukan dan menunggu hingga hasilnya negatif.
Tidak hanya itu, kesembuhan pengidap tetap harus ditentukan berdasarkan diagnosa dokter yang melakukan penanganan. Apabila pengidap telah memenuhi kriteria sembuh, ia bisa menyudahi isolasi mandiri dan berinteraksi kembali dengan orang lain tetap harus menerapkan protokol kesehatan.
Baca juga: Penggumpalan Darah Bisa Jadi Gangguan Kesehatan Serius
Gejala yang Masih Dirasakan Meski Telah Sembuh
Umumnya, sebagian besar pengidap COVID-19 akan sembuh sepenuhnya dalam waktu beberapa minggu setelah merasakan gejala untuk pertama kali. Namun, ada pula pengidap COVID-19 yang masih mengalami gejala, bahkan hingga berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah dinyatakan sembuh.
Seringnya, orang yang telah sembuh, tetapi masih merasakan adanya gejala lanjutan adalah kelompok lansia dan mereka yang memiliki kondisi medis tertentu. Meski begitu, ada pula orang berusia lebih muda dan sehat yang telah sembuh dari infeksi virus corona, tetapi masih mengalami gejala jangka panjang atau post-acute COVID-19 syndrome.
Gejala yang disebut long-haul COVID-19 ini seperti:
- Tubuh kelelahan.
- Sesak napas.
- Batuk.
- Anosmia atau indera penciuman dan perasa yang tidak peka.
- Nyeri pada sendi, otot, dan dada.
- Sakit kepala.
- Jantung berdebar.
- Kesulitan berkonsentrasi.
- Sulit tidur.
- Munculnya ruam.
Pengidap COVID-19 yang telah sembuh tetapi masih mengalami gejala tersebut disarankan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh, seperti CT scan dada, D-Dimer, dan pemeriksaan pasca COVID-19 ke rumah sakit terdekat juga bertanya pada dokter perawatan lanjutan yang harus dilakukan. Gunakan aplikasi Halodoc agar lebih mudah dalam membuat janji di rumah sakit atau chat dengan dokter seputar penanganan yang tepat.
Baca juga: Terapi Plasma Darah untuk Atasi Virus Corona
Dampak Jangka Panjang yang Perlu Diwaspadai
Meski telah sembuh dari COVID-19, kamu tetap tidak boleh mengabaikan risiko terjadinya komplikasi jangka panjang akibat penyakit berbahaya ini, seperti perkembangan jaringan parut pada organ paru-paru atau disebut juga fibrosis paru. Tentunya, hal ini akan mengakibatkan paru-paru tidak bisa berfungsi dengan baik.
Fibrosis yang terjadi setelah COVID-19 diartikan sebagai kerusakan paru-paru yang tidak dapat disembuhkan dan bisa berdampak pada munculnya berbagai gejala, termasuk batuk dan sesak napas. Bahkan, tak jarang pengidap akan membutuhkan bantuan oksigen.
Kerusakan pada paru-paru dalam beberapa kondisi pun tak bisa ditangani. Hal ini membuat pengidap harus menjalani transplantasi paru-paru. Kondisi ini diduga terjadi karena respons imunitas tubuh terhadap virus yang memicu peradangan dan menyebabkan pembekuan pada pembuluh darah kapiler. Meski begitu, belum bisa dipastikan siapa saja yang lebih berisiko mengalami komplikasi ini.
Selain itu, waspadai pula gangguan pembekuan darah. Ketika seseorang mengidap COVID-19 yang parah, tubuh akan terlalu lelah untuk memeranginya. Peradangan ini kemudian akan mempengaruhi dinding pembuluh darah dan meningkatkan risiko terjadinya pembekuan darah.
Berkaitan dengan kasus DVT, gumpalan darah dapat mengakibatkan munculnya gejala seperti nyeri yang tidak biasa dan kesulitan bernapas, tetapi kondisi ini lebih dikenali sebagai gejala COVID-19. Mungkin akan sangat sulit bagi seseorang membedakan apakah gejala tersebut berasal dari virus atau penggumpalan darah. Akhirnya, gumpalan darah dapat menjadi lebih serius, bahkan sebelum petugas medis menyadari apa yang sedang terjadi.
Terlebih bagi pengidap COVID-19 yang parah dan sudah berjuang untuk bernapas, yang akan menjadi lebih buruk dengan adanya gumpalan darah. Hal ini dapat menyebabkan kelemahan paru-paru dan mengurangi kapasitas organ tersebut untuk memasok oksigen. Jika gumpalan ini menyumbat arteri utama pada paru-paru, akibatnya akan sangat membahayakan.
Bagaimana Pencegahannya?
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang yang sudah sembuh dari infeksi virus corona guna memaksimalkan proses pemulihan, seperti:
- Mengonsumsi makanan bergizi.
- Rutin melakukan latihan pernapasan.
- Berolahraga teratur seperti berjalan kaki.
- Membiasakan lebih banyak duduk dengan posisi tegak daripada berbaring.
- Melakukan pemeriksaan detak jantung dan kadar oksigen secara berkala.
- Menjaga kualitas tidur.
- Tidak merokok dan sebisa mungkin menghindari paparan asap rokok.
- Menghindari konsumsi minuman beralkohol.
Orang yang telah sembuh dari COVID-19 akan memiliki kekebalan tubuh terhadap virus tersebut, selama sekitar 8 bulan atau lebih. Meski begitu, kasus terjadinya infeksi berulang terbilang sangat jarang ditemui dan masih terus dilakukan penelitian lebih lanjut.
Ini artinya, meski telah sembuh, protokol kesehatan tetap harus diterapkan. Kamu tetap harus memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas atau aktivitas di luar rumah.
Referensi:
Healthline. Diakses pada 2021. What to Know about a Long Recovery Period After Surviving COVID-19.
Mayo Clinic. Diakses pada 2021. COVID-19 (Coronavirus): Long-Term.
Healthline. Diakses pada 2021. Lifelong Lung Damage: The Serious COVID-19 Complication That Can Hit People in Their 20s.
Prevention. Diakses pada 2021. Does Coronavirus Cause Blood Clots? Doctors Explain the Life-Threatening Complication.
Web MD. Diakses pada 2021. Blood Clots Are Another Dangerous COVID-19 Mystery.
Berlangganan Artikel Halodoc
Topik Terkini
Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan