Apa Saja Komplikasi yang Disebabkan Distimia?
Halodoc, Jakarta – Distimia adalah gangguan depresi kronis yang dapat membuat pengidapnya kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari. Distimia dapat mengganggu kualitas hidup termasuk juga relasi dengan orang lain.
Apa saja komplikasi yang disebabkan distimia? Ternyata jika distimia tidak ditangani dengan tepat tidak hanya mengganggu relasi dan kualitas hidup, tetapi juga dapat memicu gangguan kesehatan mental lainnya. Informasi selengkapnya mengenai distimia bisa dibaca di sini!
Komplikasi dari Distimia
Ada beberapa komplikasi yang terjadi akibat kondisi distimia, antara lain:
1. Kualitas hidup berkurang.
2. Depresi berat, gangguan kecemasan dan gangguan mood lainnya.
3. Penyalahgunaan obat-obatan.
4. Kesulitan menjalin hubungan dan konflik keluarga.
5. Masalah sekolah dan pekerjaan serta penurunan produktivitas.
6. Sakit kronis dan penyakit umum lainnya.
7. Pikiran atau tindakan bunuh diri .
8. Gangguan kepribadian atau gangguan kesehatan mental lainnya.
Kenapa komplikasi yang disebabkan oleh distimia dapat memicu gangguan kesehatan mental lainnya? Soalnya distimia sendiri saja sudah membuat seseorang berada dalam kondisi yang low secara emosional.
Baca juga: Butterfly Hug, Cara Ampuh Meredam Rasa Cemas?
Pengidap distimia rentan mengalami gangguan depresi dengan kondisi suasana hati tertekan untuk waktu yang lama, kehilangan rasa percaya diri, tidak bersemangat, kelelahan, tidur tidak teratur, konsentrasi yang buruk, tekanan emosional, dan lain-lainnya.
Nah, jika hal ini tidak segera diatasi bisa memicu gangguan kesehatan mental yang lebih parah. Salah satunya adalah gangguan kepribadian. Menurut data kesehatan yang dipublikasikan oleh Covington Behavioral Health, disebutkan bahwa gangguan kepribadian dapat membuat seseorang melakukan tindakan bunuh diri sampai menyakiti orang lain.
Situasi pandemi saat ini kerap membuat orang-orang rentan secara emosional. Jika kamu saat ini berpikir untuk menyakiti diri sendiri coba kontak psikolog di Halodoc. Dokter ataupun psikolog yang ahli di bidangnya akan berusaha memberikan solusi terbaik. Caranya, cukup download aplikasi Halodoc lewat Google Play atau App Store. Melalui fitur Contact Doctor kamu bisa memilih mengobrol lewat Video/Voice Call atau Chat.
Distimia Hampir Sama dengan Depresi Berat
Menurut Harvard Health Publishing, distimia hampir sama dengan depresi berat. Soalnya, kondisi keduanya kurang lebih memiliki gejala yang sama. Termasuk suasana hati yang tertekan, tidur yang terganggu, tidak bersemangat, dan konsentrasi yang buruk.
Ada juga gejala lain yang mengiringi seperti nafsu makan yang buruk, tidak percaya diri, dan keputusasaan. Namun, perbedaan antara distimia dan depresi berat adalah episode depresi berat biasanya berlangsung selama dua minggu. Sedangkan distimia sendiri durasinya dua tahun dengan gejala yang mendominasi nafsu makan yang buruk atau makan berlebihan, insomnia atau tidur berlebihan, energi rendah atau kelelahan, tingkat percaya diri yang rendah, konsentrasi yang buruk atau ketidaktegasan, dan keputusasaan.
Baca juga: Gangguan Kecemasan Bisa Diturunkan Juga di Keluarga, Ini Faktanya
Pemicu distimia juga kurang lebih sama dengan depresi berat. Mulai dari genetik, ketidakseimbangan neurokimiawi, stres dan trauma masa kanak-kanak dan dewasa, dan keadaan sosial, terutama isolasi dan tidak tersedianya bantuan.
Seperti halnya kondisi depresi berat, distimia diobati dengan psikoterapi dan pengobatan medis. Jenis obat yang paling umum digunakan adalah penghambat reuptake serotonin selektif seperti fluoxetine (Prozac) dan sertraline (Zoloft), atau salah satu antidepresan aksi ganda seperti venlafaxine (Effexor). Beberapa orang mungkin lebih cocok dengan antidepresan trisiklik seperti imipramine (Tofranil).
Baca juga: Ini Trauma yang Dialami Korban Kekerasan Seksual
Terapi suportif dari lingkungan terdekat ataupun komunitas juga diperlukan untuk mengimbang pengobatan medis. Terapi kognitif dilakukan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki pola pikir yang mendorong sikap yang dapat merugikan diri sendiri.
Perawatan perilaku dilakukan untuk meningkatkan keterampilan sosial dan mengajarkan cara mengelola stress. Terapi psikodinamik membantu orang dengan distimia menyelesaikan konflik emosional, terutama yang berasal dari pengalaman masa kecil. Sedangkan terapi interpersonal membantu mengatasi rasa kehilangan akibat perpisahan serta hambatan interaksi sosial.