4 Alasan Utama Kenapa Generasi Milenial Lebih Gampang Depresi

Ditinjau oleh  Redaksi Halodoc   25 Juni 2018
4 Alasan Utama Kenapa Generasi Milenial Lebih Gampang Depresi4 Alasan Utama Kenapa Generasi Milenial Lebih Gampang Depresi

Halodoc, Jakarta - Sebagai generasi terbesar kedua setelah generasi Baby Boomer, pola hidup dan kebiasaan generasi milenial kerap menjadi headline di berbagai media massa. Salah satu isu yang sering muncul adalah tingginya angka depresi pada generasi milenial.

Thomas Curran dan Andrew P. Hill meneliti lebih jauh mengenai fenomena ini dan menemukan fakta menarik. Dalam jurnalnya yang dipublikasikan Psychological Bulletin ini, mereka menyatakan bahwa generasi milenial gampang depresi. Tingkat depresi, kecemasan, dan pikiran bunuh diri generasi milenial saat ini dua kali lebih tinggi dari sepuluh tahun lalu.

Baca juga: 5 Penyebab Depresi yang Sering Diabaikan

Lewat tulisannya di Psychology Today, Russ Federman, psikolog senior dari Virginia, Amerika Serikat menyimpulkan bahwa fenomena ini bukanlah tentang apa yang salah dari budaya masyarakat modern, melainkan sebuah refleksi dari tren sosial dan norma yang terus berkembang. Teknologi dan ekonomi membawa pengaruh terbesar dalam evolusi ini.

Ilusi Kompetisi dan Perfeksionisme di Kalangan Milenial

Curran dan Hill menyoroti kaitan antara perubahan budaya dan tingkat perfeksionisme mahasiswa antara tahun 1989 sampai 2016 di Amerika, Kanada, dan Inggris. Mereka menemukan bahwa skala perfeksionisme meningkat selama 27 tahun. Penelitian ini juga mengindikasikan bahwa generasi muda cenderung memiliki tuntutan lebih tinggi terhadap orang lain dan diri mereka sendiri, sekaligus menganggap bahwa orang lain memiliki tuntutan yang tinggi terhadap mereka.

Memiliki standar terlampau tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain berisiko bagi kesehatan mental generasi milenial. Perilaku pengguna media sosial yang kerap menampilkan gaya hidup ideal, pasangan ideal, tubuh, wajah, dan gambaran kesempurnaan lainnya kian memperparah kondisi ini.  Akibatnya, muncul ilusi kompetisi yang akhirnya membuat generasi milenial terdorong untuk mengejar hal yang tak mungkin mereka capai, yaitu kesempurnaan.

Rasa “berkompetisi” ini muncul saat generasi milenial temannya “sukses”, sehingga mereka terdorong untuk berusaha keras agar lebih sukses. Sayangnya, masih ada langit di atas langit. Namun, dorongan untuk lebih sukses itu masih ada. Pada titik tertentu, seorang yang perfeksionis akan merasa berbagai usahanya masih kurang. Siklus ini akhirnya bisa menyebabkan depresi.

Isolasi Akibat Media Sosial

Bukan hal baru jika generasi milenial sangat fasih menggunakan teknologi. Salah satu teknologi yang sangat identik dengan generasi milenial adalah media sosial. Tak hanya menghibur, media sosial memudahkan generasi milenial terkoneksi dengan teman, keluarga, dan kerabat. Ironisnya, menggunakan media sosial secara berlebihan justru membuat penggunanya merasa terisolasi dan kesepian.

Baca juga: Pengaruh Media Sosial pada Remaja

Dua peneliti dari University of Pittsburgh School of Medicine mengaji fenomena ini lewat riset yang dipublikasikan di American Journal of Preventive Medicine. Studi ini dilakukan pada 1787 responden usia 19-32 di Amerika serikat. Mereka menemukan bahwa responden yang menggunakan media sosial lebih dari dua jam per hari memiliki kecenderungan untuk merasa terisolasi dibandingkan dengan yang menggunakan media sosial kurang dari 30 menit per hari. Selain itu, terdapat pula studi dari The Oregon Health & Science University yang membuktikan bahwa interaksi tatap muka bisa mengurangi risiko seseorang terkena depresi. Karena itu, menggunakan media sosial secara berlebihan bisa membuat milenial gampang depresi.

Tantangan Ekonomi yang Berubah Menjadi Tekanan

Tak hanya tantangan teknologi dan sosial, generasi milenial pun menghadapi tantangan lainnya yang tak kalah pelik, yaitu ekonomi. Tingginya urbanisasi membuat lapangan kerja terpusat di kota-kota besar, sehingga persaingan kerja bagi generasi milenial saat ini makin kompetitif. Sistem pendidikan saat ini pun tidak bisa sepenuhnya menjawab tantangan persaingan tenaga kerja saat ini.

Belum lagi generasi milenial terancam tak bisa memiliki rumah karena ketimpangan antara harga rumah dan kemampuan finansial. Berbagai tantangan ekonomi ini kerap menjadi tekanan bagi generasi milenial, hingga memicu stres, dan akhirnya berisiko menjadi depresi.

Berita Negatif dan Kecemasan yang Ditimbulkan

Dengan internet, generasi milenial memang bisa mendapat informasi dengan cepat. Namun, itu juga berarti generasi milenial lebih rentan terpapar berbagai informasi negatif dari seluruh dunia dalam waktu bersamaan.

Media massa turut berperan sebagai faktor pemicu depresi, terutama media yang kerap memberitakan peristiwa negatif. Mulai dari berita tentang alam Indonesia yang kian “sakit”, perang dunia, terorisme, bencana alam, korupsi, dan isu mengkhawatirkan lainnya. Jika seseorang terpapar informasi negatif secara terus menerus, bukan tidak mungkin dia akan lebih rentan stres hingga depresi.

Baca juga: Cara Menurunkan Depresi dengan Bersepeda

Alasan mengapa milenial gampang depresi ini memang sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengaruh masing-masing faktor sangat bergantung kepada situasi setiap individu. Jika kamu sakit, kamu bisa hubungi dokter melalui aplikasi Halodoc. Lewat fitur Chat dan Voice/Video Call, kamu bisa mengobrol dengan dokter ahli tanpa perlu ke luar rumah. Yuk, download aplikasi Halodoc sekarang juga di App Store dan Google Play!