3 Cara Deteksi Dini Gangguan Jiwa
Halodoc, Jakarta - Putus cinta, kondisi finansial yang buruk sehingga menyebabkan kebangkrutan, kehilangan orang tersayang, mengalami kejadian traumatis dapat memukul kejiwaan seseorang. Meskipun mereka yang mengalami peristiwa menyedihkan tadi tidak menunjukkan tanda atau gejala yang mencurigakan, namun perlu didampingi agar tidak mengalami gangguan jiwa. Penting juga untuk menemukan cara deteksi gangguan jiwa pada seseorang sejak dini agar kondisi tidak semakin parah.
Deteksi gangguan jiwa sejak dini juga penting, karena penyebab orang terserang gangguan jiwa ini multikompleks dan tidak melulu karena kejadian traumatis. Penyebabnya tidak berdiri sendiri meski biasanya disebabkan oleh situasi sosial serta kelainan dalam tubuh yang menyebabkan gangguan jiwa muncul. Nah, berikut ini cara deteksi gangguan jiwa yang bisa dilakukan, yaitu:
Baca Juga: 4 Gangguan Mental yang Terjadi Tanpa Disadari
Pemeriksaan Kondisi kejiwaan Melalui Wawancara
Tahapan awal dalam pemeriksaan kondisi kejiwaan adalah wawancara. Seseorang diminta informasi tentang riwayat dan kondisinya secara umum oleh psikiater. Apabila seseorang tidak dapat memberikan informasi secara jelas, maka anggota keluarganya dapat membantu menjawab pertanyaan psikiater. Kini buat janji dengan psikiater bisa dilakukan dengan aplikasi Halodoc. Tanpa ribet, kamu tidak perlu antre lama untuk bisa melakukan pemeriksaan kejiwaan.
Informasi yang diminta oleh psikiater bisa meliputi identitas pribadi (meliputi nama, pekerjaan, status perkawinan, riwayat pendidikan, dan hal lain seputar latar belakang sosial dan budaya pasien). Setelah itu, psikiater menanyakan perihal maksud utama seseorang menjalani pemeriksaan medis kejiwaan. Biasanya psikiater memberi pertanyaan pancingan terkait keluhan yang dirasakan.
Setelah itu, wawancara dilanjutkan dengan pemeriksaan yang paling utama untuk menentukan diagnosis gangguan mental yang sedang diidap. Psikiater meminta agar pasien atau keluarga menceritakan gejala dan riwayat gangguan mental yang diidap serinci mungkin. Selain gejala mental, dokter perlu menilai apakah ada gejala fisik yang dirasakan pasien.
Baca Juga: Ini 7 Alasan Lansia Kerap Mengalami Gangguan Jiwa
Observasi Status Mental
Tidak hanya dengan wawancara, deteksi gangguan jiwa bisa dilakukan dengan mengamati kondisi pasien saat melakukan wawancara. Beberapa hal yang diamati, antara lain:
-
Penampilan seperti melalui pakaian, apakan sesuai dengan situasi, usia, dan jenis kelamin pasien. Bisa juga melalui gerak tubuh, apakah ia terlihat cemas atau mungkin tidak fokus.
-
Sikap pasien kepada psikiater. Observasi bisa dilihat dari ekspresi serta respon dalam menjawab pertanyaan.
-
Mood dan afeksi.
-
Pola bicara. Bisa meliputi volume suara dan intonasi selama wawancara, kualitas dan kuantitas pembicaraan, kecepatan berbicara, serta bagaimana pasien merespons pertanyaan wawancara, apakah pasien hanya menjawab sekadarnya atau bercerita panjang lebar.
-
Hal-hal yang diperiksa dari proses berpikir pasien yaitu hubungan antara pembicaraan, apakah pasien sering mengganti topik pembicaraan, atau apakah pasien berbicara dengan kata-kata yang tidak lazim dan tidak bisa dimengerti. Persepsi dan daya tanggap pasien terhadap kenyataan atau apakah pasien memiliki halusinasi atau waham (delusi) juga diperiksa.
-
Konten atau isi pikiran. Pemeriksaan konten pikiran pasien bisa dilihat dari orientasi pasien, kesadaran, kemampuan menulis, membaca, dan mengingat. Bisa juga observasi apakah pasien memiliki keinginan membunuh atau bunuh diri, fobia, obsesi, pemahaman diri sendiri, pertimbangan (judgement), impulsivitas, serta keandalan (reliability).
Pemeriksaan Penunjang dan Psikotes
Jika tahap wawancara dan observasi dirasa kurang membantu dalam proses deteksi gangguan jiwa, maka bisa dilakukan pemeriksaan penunjang. Ini bertujuan membantu psikiater menentukan diagnosis. Pemeriksaan penunjang ini dapat berupa pemeriksaan darah dan urine di laboratorium atau dengan pencitraan, misalnya CT scan dan MRI otak.
Psikotes juga bisa dilakukan sebagai pemeriksaan tahap lanjut. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengevaluasi lebih dalam fungsi mental dan hal spesifik terkait kejiwaan pasien, seperti tipe kepribadian, tingkat kecerdasan (IQ), dan kecerdasan emosional (EQ) pasien.
Baca Juga: Semakin Cerdas, Seseorang Rentan Kena Gangguan Mental?