Anak Terkena Diare Karena Intoleransi Laktosa, Begini Cara Mengatasinya
Halodoc, Jakarta - Sistem kekebalan tubuh yang masih lemah adalah alasan mengapa seorang anak sering mengalami sakit. Mulai dari flu, batuk, pilek, atau diare, semuanya mudah terjadi karena tubuh sang anak tidak optimal dalam melawan bakteri atau virus penyebab infeksi.
Namun, ternyata tidak semua penyakit terjadi karena infeksi virus atau bakteri. Misalnya diare, yang bisa terjadi karena kondisi lain, misalnya karena intoleransi laktosa.
Intoleransi laktosa adalah kondisi yang membuat tubuh tidak mampu mencerna laktosa, yakni gula yang terdapat pada susu sapi dan produk olahannya. Dalam kondisi normal, laktosa dicerna menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim yang dinamakan laktase. Glukosa dan galaktosa mampu diserap tubuh dan digunakan sebagai sumber energi.
Namun, pada pengidap intoleransi laktosa tidak mampu menghasilkan laktase yang cukup. Hasilnya, laktosa yang tidak tercerna masuk ke usus besar lalu terfermentasi oleh bakteri dan menimbulkan berbagai gejala seperti diare.
Gejala intoleransi laktosa lain yang bisa dialami anak biasanya terjadi 30 menit hingga 2 jam setelah konsumsi makanan atau minuman yang mengandung laktosa, antara lain:
-
Mual.
-
Kram perut.
-
Perut kembung.
-
Sering buang angin.
-
Kemerahan di sekitar anus.
-
Tinja berbau asam.
Tingkat keparahan gejala yang terjadi tergantung pada seberapa banyak laktosa dikonsumsi.
Baca Juga: Inilah Alasan Bayi Prematur Lebih Rentan Intoleransi Laktosa
Bagaimana Cara Mengatasi Diare Akibat Intoleransi Laktosa?
Sayangnya hingga kini belum ditemukan cara mengatasi intoleransi laktosa, sehingga gejala yang terjadi seperti diare tidak bisa diatasi sepenuhnya. Diare bisa diatasi dengan pemberian obat diare yang diresepkan dokter. Alangkah lebih baik lagi jika anak menghentikan konsumsi laktosa atau memerhatikan terlebih dulu saat anak konsumsi susu atau produk olahannya.
Jika anak mulai diare, maka konsumsi susu dan produk olahan lainnya wajib dihentikan.
Orangtua wajib mencatat makanan apa saja yang menyebabkan kondisi ini, seperti misalnya susu sapi, keju, yoghurt, biskuit, kue, dan semacamnya. Hal ini penting untuk mencegah gejala terjadi jika sewaktu-waktu anak tidak berada di bawah pengawasan orangtua langsung, misalnya sedang dititipkan ke daycare atau pergi sekolah.
Adakah Makanan Alternatif Pengganti Laktosa?
Orangtua jangan khawatir anak kekurangan gizi akibat tidak bisa mencerna laktosa. Karena ada alternatif makanan bebas laktosa yang bisa dikonsumsi sebagai pengganti susu dan makanan lain yang berlaktosa. Makanan tersebut di antaranya adalah susu kedelai atau susu yang terbuat dari gandum, kacang almond, kelapa, atau kentang. Yoghurt, keju jenis tertentu, dan makanan lain yang bertanda bebas laktosa yang dijual bebas di pasaran umumnya aman dikonsumsi anak.
Anak bisa mendapatkan tambahan suplemen laktase, namun efektivitasnya berbeda setiap orang. Selain itu, orangtua dapat mencoba menambahkan porsi laktosa secara bertahap untuk membantu tubuh beradaptasi dalam mencerna laktosa. Sebaiknya diskusi terlebih dahulu dengan dokter mengenai pola diet yang dianjurkan untuk pengidap intoleransi laktosa.
Penting diingat anak wajib dipenuhi kebutuhan kalsiumnya yang tidak bisa didapat melalui susu. Beberapa makanan sumber kalsium yang cocok diberikan kepada anak antara lain:
-
Ikan sarden atau salmon.
-
Sayuran hijau, seperti bayam, kubis, atau brokoli.
-
Kacang-kacangan, termasuk kacang kedelai.
-
Roti dan makanan lain yang terbuat dari tepung fortifikasi.
Baca Juga: Ketahui Perbedaan Intoleransi Laktosa dan Alergi Susu Sapi pada Bayi
Jadi kini kau paham bahwa tidak ada pengobatan untuk mengatasi intoleransi laktosa. Yang kamu perlu lakukan hanya menghindari anak konsumsi laktosa. Kalau ingin mengetahui lebih banyak mengenai intoleransi laktosa serta penanganan saat anak mengalaminya, kamu bisa tanyakan langsung ke Halodoc. Dokter-dokter yang ahli di bidangnya berusaha memberikan solusi terbaik untukmu. Caranya, cukup download aplikasi Halodoc lewat Google Play atau App Store. Melalui fitur Talk to a Doctor, kamu bisa memilih mengobrol lewat Video/Voice Call atau Chat.