2 Gangguan Mental yang Mirip dengan Kepribadian Joker
Halodoc, Jakarta - Film Joker baru saja tayang menghiasi layar lebar seluruh Indonesia. Tentu saja, film yang menceritakan musuh bebuyutan sang superhero Batman ini ditunggu oleh para penggemarnya. Apalagi, cerita kali ini mengisahkan hidup sang tokoh badut itu sendiri. Diceritakan, Arthur Fleck mengalami masalah gangguan jiwa yang pada akhirnya membuat dirinya menjadi seorang pembunuh yang begitu keji.
Sebenarnya, Joker bukan seorang pembunuh seperti yang diketahui sekarang. Arthur Fleck adalah seorang pelawak yang senang menghibur dan membawa kebahagiaan pada orang lain sekaligus seorang anak yang taat kepada orang tuanya. Penghinaan dan perlakuan kasar membuatnya berubah drastis, menjadi pribadi yang kejam dan tidak punya belas kasihan.
Gangguan Mental yang Mirip dengan Kepribadian Joker
Joker, sang pemeran utama, memiliki kepribadian yang terbilang unik. Kepribadian ini mirip dengan seorang pengidap skizofrenia, gangguan mental kronis yang berpengaruh terhadap cara orang tersebut bertindak, berekspresi, dan berpikir serta cara berinteraksi dengan orang lain.
Baca juga: 5 Pemahaman Keliru Penyakit Skizofrenia
Pengidap skizofrenia biasanya sering terjebak masalah, baik di lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal, atau lingkungan kerjanya. Sederhananya, mereka yang mengalami skizofrenia mengalami kesulitan untuk membedakan mana kehidupan nyata dan mana yang tidak. Mereka bisa mengalami perubahan mendadak baik dalam perilaku maupun kepribadian ketika kehilangan kontak dengan alam nyata, yang disebut fase psikotik.
Skizofrenia bisa terjadi pada siapa saja. Namun, kelainan mental ini sering menyerang remaja atau dewasa awal. Sayangnya, gejalanya cukup sulit dikenali karena tidak adanya pemicu secara spesifik. Perubahan perilaku secara perlahan bisa dikenali sebagai tanda-tanda awal, misalnya perubahan pada nilai, sikap, dan kebiasaan sehari-harinya.
Baca juga: Inilah 4 Jenis Skizofrenia yang Perlu Diketahui
Ternyata, tidak hanya satu, masih ada lagi masalah kejiwaan yang mirip dengan kepribadian sang badut yang berubah menjadi keji, yaitu keinginan untuk menangis dan tertawa secara tiba-tiba atau sering disebut Pathological Laughter and Crying. Ini tidak terjadi karena perubahan suasana hati, tetapi karena adanya masalah pada sistem saraf. Kondisi kesehatan ini sering disebut pseudobulbar affect atau emosi labil.
Pasalnya, pengidap tidak bisa mengendalikan tangis dan tawa. Hal tersebut terjadi secara berurutan dalam satu waktu. Apa yang menjadi penyebabnya belum bisa dipastikan, tetapi pemicunya dapat berupa tekanan psikis atau penyakit lain, seperti stroke, cedera pada otak, penyakit parkinson, penyakit alzheimer, hingga multiple sclerosis.
Sebenarnya, pengidap PLC punya emosi yang normal. Hanya saja, mereka terkadang mengekspresikannya secara berlebihan dan bukan pada waktunya. Mereka bisa saja tertawa atau menangis tiba-tiba dan tidak bisa menghentikannya. Terkadang, menangis dan tertawa bukan pada waktu dan tempat yang tepat dan terjadi perubahan suasana hati seperti marah-marah atau frustasi.
Baca juga: Skizofrenia Paranoid Punya Kecenderungan Berhalusinasi
Lebih menakutkannya lagi, ekspresi wajah mereka yang mengidap PLC terkadang tidak sesuai dengan kondisi emosi yang mereka tunjukkan atau terlihat oleh orang lain. Biasanya, pengidap diberikan obat antidepresan atau mood stabilizer untuk mengendalikan emosi ingin tertawa atau menangis. Obat-obatan tersebut dapat membantu mengendalikan gejala yang muncul dengan tetap disertai dukungan dari orang di sekitar untuk meminimalkan stres psikis.
Oleh karena itu, kamu perlu menceritakan langsung apa yang kamu alami dengan orang yang tepat. Buatlah janji dengan dokter ahli kejiwaan langsung di rumah sakit terdekat, sehingga kamu bisa tertangani dengan cepat dan masalah yang kamu alami tidak terjadi berlarut-larut. Atau, kamu bisa bercerita dengan dokter di aplikasi Halodoc melalui fitur Tanya Dokter kalau belum sempat bertatap muka.
Referensi:
Mayo Clinic. Diakses pada 2019. Schizophrenia.
Mayo Clinic Proceedings. Diakses pada 2019. Diagnosis and Management of Pathological Laughter and Crying.
Josef Parvizi, et al. 2009. Diakses pada 2019. Neuroanatomy of Pathological Laughing and Crying: A Report of The American Neuropsychiatric Association Committee on Research. Journal Neuropsychiatry Clin Neuroscience 21:1.
Berlangganan Artikel Halodoc
Topik Terkini
Mulai Rp50 Ribu! Bisa Konsultasi dengan Ahli seputar Kesehatan